Rabu, 29 Juli 2009

RESPON ORANG BANYAK (Muhammad - Tiga Puluh Tahun Pertama di Mekah)


MUHAMMAD : TIGAPULUH TAHUN PERTAMA DI MEKAH
USIA : 40 – 53 TAHUN
YESUS : SATU - DUA TAHUN PERTAMA PELAYANANNYA SAMPAI IA MENGIRIMKAN MURID-MURIDNYA BERKHOTBAH TANPANYA

Sampai pada bagian ini, baik Muhammad maupun Yesus telah menyatakan bahwa mereka dipanggil untuk menyampaikan pesan dari Tuhan kepada dunia. Mari kita lihat pada hari-hari pertama mereka berkhotbah. Kita akan terkejut melihat adanya persamaan reaksi dari orang-orang di kampung mereka, tetapi juga ada perbedaan bagaimana Yesus dan Muhammad menanggapinya.

PERMULAAN MUHAMMAD SECARA DIAM-DIAM
Isteri Muhammad, Kadijah, adalah orang pertama yang pindah agama dan memeluk Islam, diikuti oleh sepupunya yang berusia sepuluh tahun (Ali ibn Abu Talib) yang tinggal bersama mereka.1 Orang berikutnya yang memeluk agama Islam adalah salah seorang penyembah berhala bernama Abu Bakar. Abu Bakar ini kemudian menjadi salah seorang penginjil agama Islam yang sangat berhasil, dan ia berhasil membawa dua puluh lima orang untuk memeluk agama Islam, termasuk seseorang yang bernama Al-Arqam. Rumah Al-Arqam menjadi tempat utama bagi Muhammad mengajar.2

Muhammad memberitahukan paman yang membesarkannya, Abu Talib, mengenai pengalamannya, dan pamannya berjanji untuk melindungi dirinya tetapi tidak mau menerima ajaran Muhammad.

Jadi, apa yang diajarkan oleh Muhammad pada saat itu? Ia memberitahukan sepupunya bahwa untuk menjadi seorang Muslim, ia harus bersaksi bahwa, “Tidak ada tuhan selain Allah saja, tanpa sekutu, dan mengingkari al-Lat dan al-Uzza (berhala), serta melepaskan saingan-saingannya.”3 Muhammad juga mengatakan bahwa malaikat Gabriel mengajarkannya sebuah cara sembahyang yang khusus, yang diajarkannya kepada para pengikutnya.4 Selanjutnya, Muhammad menambahkan beberapa petunjuk yang harus diikuti untuk menjadi seorang Muslim.

Pada awalnya, Muhammad dan orang-orang Muslim bersikap rendah hati. Mereka pergi ke sebuah lembah di padang gurun, di luar kota, untuk bersembahyang sehingga orang-orang tidak dapat melihat mereka.5 Muhammad terus melakukan cara diam-diam seperti ini di Mekah selama tiga tahun.

PERMULAAN YESUS YANG DRAMATIS
Kisah tentang Yesus di dalam kitab Injil memberikan beberapa gambaran yang berbeda mengenai awal mula pekerjaannya.

Hanya dalam beberapa hari setelah dibaptis, lima orang laki-laki telah mengikuti Yesus kemanapun ia pergi.(Yohanes 1:35-40). Mereka pergi bersama-sama ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Ketika mereka masuk ke bait suci, Yesus melakukan sesuatu yang membuatnya dipandang oleh pemuka-pemuka agama Yahudi seumur hidupnya. Ketika Yesus melihat orang-orang berdagang lembu, domba, dan burung merpati dan menukarkan uang, ia menjadi marah. Ia mencampakkan dan menggiring semua orang dan hewan-hewan itu keluar dari halaman bait suci sambil berteriak, “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” (Yohanes 2:16)

Pemuka-pemuka agama mempertanyakan wewenangnya, namun mereka tidak mampu menghentikannya. Ia tinggal di Yerusalem untuk merayakan Paskah dan melakukan “tanda-tanda mujizat,” yang membuat banyak orang menjadi percaya kepadanya (Yohanes 2:23). Pemimpin-pemimpin agam Yahudi (orang-orang Farisi) mulai mengikuti perkembangan aktivitasnya (Yohanes 4:1)

Yesus mulai berbicara di sinagoga orang-orang Yahudi dan, “... tersiarlah kabar tentang Dia di seluruh daerah itu .... dan semua orang memuji Dia.” (Lukas 4:14-15). Setelah mengajar di beberapa kota, Yesus kembali mengajar di kampung halamannya, Nazaret, sebuah kampung kecil yang hanya berpenduduk sekitar dua ratus jiwa.

Apa yang Yesus ajarkan pada saat itu? Ketika ia berdiri mengajar di sinagoga di Nazaret, ia memegang gulungan kitab Yesaya. Ia membacakannya kepada orang-orang:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
-- Lukas 4:18-19 --

Ketika orang-orang menatapnya, ia mulai mengajar mereka dan berkata, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Lukas 4:21).

Di hari-hari pertama di Yerusalem, Yesus telah memberitahukan kepada para pemuka agama Yauhdi bahwa Tuhan, “telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Seorang perempuan Samaria, di tepi sumur mengatakan kepada Yesus bahwa ia sedang mencari Mesias yang akan datang bagi orang-orang Yahudi, dan Yesus berkata, “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau.” (Yohanes 4:26). Singkatnya, Yesus mengatakan bahwa ia adalah Anak Tuhan dan ia memegang kunci untuk memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan, dan akan menghasilkan hidup yang kekal. Inilah pesan yang disampaikan oleh Yesus mulai sejak saat itu sampai akhir hidupnya. (Kita akan memperbandingkan pesan yang disampaikan oleh Yesus dan Muhammad lebih rinci di dalam bab 10)

PENOLAKAN MUHAMMAD DI KAMPUNG HALAMANNYA SENDIRI DAN OLEH PARA PEMUKA AGAMA
Muhammad menyebarkan pesannya secara diam-diam selama tiga tahun sampai ia kemudian menyatakan bahwa malaikat Gabriel memerintahkannya menyampaikan pesan tersebut kepada orang banyak (pada usia empat puluh tiga tahun). Muhammad memutuskan untuk memanggil para pemimpin suku Qurais dan memberitahukan mereka tentang ajarannya. Ada beberapa hal yang perlu diingat tentang suku Qurais: (1) keluarga Muhammad adalah bagian dari suku ini. Cabang keluarganya disebut dengan Bani Hashim. (Bani dalam bahasa Arab berarti suku). (2) Suku ini secara turun temurun bertugas untuk menjaga Ka’abah, pusat penyembahan berhala bagi bangsa Arab.

Ketika Muhammad memberitahukan mereka pesan yang ia terima, mereka menjadi marah. Mereka berkata kepada paman Muhammad, “Ya Abu Talib, keponakanmu telah mengutuki dewa-dewa kita, menghina agama kita, mengejek jalan hidup kita dan menuduh para pendahulu kita melakukan kesalahan, engkau harus menghentikannya atau kami akan menangkapnya.”6
Karena paman Muhammad memilih untuk melindunginya, orang-orang Mekah tidak dapat membunuh Muhammad, jadi mereka hanya mengancamnya. Sebagai contoh, mereka mengingatkan orang-orang yang berkunjung ke Mekah untuk mengabaikan Muhammad. Mereka juga menghina Muhammad ketika mereka berjalan mengelilingi Batu Hitam di Ka’abah.7

Para pengikut agama Islam berada dalam bahaya melebihi Muhammad sendiri. Orang-orang Qurais menekan mereka untuk meninggalkan iman mereka. Jika orang yang memeluk agama Islam itu aalah orang yang terpandang di masyarakat, mereka akan mengejeknya. Jika ia seorang pedagang, mereka mengancam untuk memboikotnya. Dan jika ia berasal dari kelas masyarakat rendah, mereka akan memukulinya.8

Kebanyakkan orang yang memeluk agama Islam pada saat itu berasal dari kelas rendah atau para budak. Namun, berjalan dengan waktu, dua orang yang berpengaruh bergabung dengan Muhammad, yaitu Umar dan Hamzah (salah satu paman Muhammad). Kedua orang ini secara fisik sangat kuat dan agresif, dan menakutkan bagi orang-orang Qurais. Untuk memperlemah orang-orang Islam, suku Qurais memutuskan untuk memboikot seluruh orang Islam dan seluruh kerabat Muhammad (Bani Hashim).

Mereka menandatangani sebuah perjanjian bahwa seluruh suku tidak boleh menikah dengan perempuan dari suku Hashim atau memberikan perempuan mereka untuk dinikahi. Mereka juga tidak boleh membeli atuapun menjual sesuatu kepada mereka.

Pemimpin tindakan pemboikotan ini adalah Abu Lahab, salah seorang dari paman Muhammad. Ia pergi ke pasar dan berkata kepada orang banyak, “Wahai para pedagang, naikkanlah harga barang daganganmu sedemikian rupa sehingga orang-orang Muhammad tidak dapat membeli apapun daripadamu. Jika seseorang khawatir bahwa bisnisnya akan merugi, aku punya cukup uang untuk menutupi kerugian itu.”

Muhammad menyampaikan wahyu dari malaikat Gabriel mengenai orang itu (Surat 111). Beberapa saat kemudian, Muhammad dan orang-orang Islam itu pergi meninggalkan kota dan tinggal di lembah gurun yang berdekatan. Mereka mulai putus asa. Ketika seorang Muslim pergi ke kota untuk membeli makanan bagi keluarganya, para pedagang memintanya membayar harga dua, tiga bahkan empat kali lipat lebih mahal dari harga normal. Ia tidak dapat membayar, sehingga ia kembali lagi tanpa membawa apa-apa bagi keluarganya.

Sejarah Islam mengatakan bahwa para pengikut Muhammad menjadi sangat lapar sehingga mereka memakan kotoran binatang dan daun-daunan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Tahun Kelaparan.

Bayangkan, Muhammad dan isterinya, yang pernah menjadi orang terkaya, perempuan paling terpandang di kota Mekah, menjadi pelarian di gurun pasir, tanpa bisa membeli makanan. Mereka mungkin juga membawa anak-anak mereka yang masih kecil bersama mereka. Mereka bertahan hidup dengan adanya simpanan makanan yang diberikan secara diam-diam oleh orang-orang yang simpatik dan teman-teman mereka.9

Selama masa itu, Muhammad terus berbicara tentang wahyu yang berasal dari malaikat Gabriel. Ayat-ayat ini dikumpulkan dan menjadi bagian buku yang dikenal dengan nama Al Quran. Wahyu-wahyu ini seringkali berisi makian terhadap mereka yang menganiaya dirinya.

PENOLAKAN YESUS DI KAMPUNG HALAMANNYA SENDIRI DAN OLEH PARA PEMUKA AGAMA
Kita telah melihat bagaimana orang-orang sekampung Muhammad menolaknya. Sekarang mari kita lihat di Nazaret, sebuah kota kecil, tempat di mana Yesus dibesarkan. Anda telah membaca tentang bagaimana Yesus berdiri di sinagoga di Nazaret membaca Kitab Suci. Sekarang mari kita lihat bagaimana reaksi orang-orang.

Setelah Yesus membaca kitab Yesaya, ia kemudian mengajar. Ia berbicara tentang bagaimana orang-orang di kampungnya, di Nazaret, menginginkannya membuat mujizat sama seperti yang telah dilakukannya di Kapernaum. “Aku memberitakan kepadamu kebenaran,” katanya, “seorang nabi tidak akan diterima di tempat asalnya.” Kemudian ia mengingatkan mereka tentang nabi-nabi Perjanjian Lama yang diutus dari Israel untuk menolong orang-orang yang bukan Yahudi. Ucapan ini membuat orang-orang di sinagoga menjadi sangat marah. Mereka lalu membawa Yesus ke dekat sebuah terbing yang curam, untuk melemparkannya dari tepi jurang. Tetapi Yesus berjalan melewati orang banyak dan pergi (Lukas 4:14-30).

Sebagai tambahan, Yesus juga ditolak di kota-kota lainnya dan beberapa kelompok masyarakat. Yesus melakukan banyak mujizat di kota-kota lain di Galilea, namaun mereka menolak pesan dari Yesus (Kapernaum, Matius 11:23; Korazin dan Bethsaida, Lukas 10:13). Pesan yang disampaikan oleh Yesus membuat marah para pemuka agama Yahudi, sama seperti pesan Muhammad yang membuat marah para pemimpin penyembah berhala di Mekah.

Para pemimpin agama ketika kemudian berusaha untuk membunuh Yesus tetapi mereka melakukannya dengan cara yang berbeda. Mereka tidak secara langsung membunuh Yesus, melainkan mencari cara untuk membuatnya melanggar hukum sehingga mereka dapat secara sah menghukum mati Yesus. Sebagai contoh, jika ia terbukti mengumpat, hukum orang Yahudi mengijinkan ia untuk dibunuh. Jika ia terbukti melakukan pengkhianatan terhadap pemerintah Roma, ia juga harus dibunuh (Matius 22:15)

Di depan orang-orang yang menolak dia, Yesus tetap menyampaikan sudut pandangnya dan terus bergerak (Lukas 9:51-56). Jika kita lebih lanjut melihat kehidupan Yesus dan Muhammad, kita akan melihat bahwa reaksi Muhammad terhadap penolakan dirinya sangat berbeda. Mari kita lihat bagaimana Muhammad bisa pulih dari tindakan boikot orang-orang di sukunya.

PENCABUTAN BOIKOT / MUHAMMAD MENCARI PERLINDUNGAN
Setelah dua atau tiga tahun, tanpa intervensi secara langsung dari Muhammad, para pemimpin Qurais memutuskan untuk mencabut boikot. Para pemimpin itu memutuskan bahwa tidaklah baik memperlakukan kerabat mereka sendiri dengan cara buruk seperti itu, dan karena itu mereka merobek perjanjian yang ada. Muhammad dan orang-orangnya kembali ke Mekah dan melanjutkan praktek agama Islam di sana, meski tetap mengalami beberapa penghinaan.10

Muhammad menyampaikan pesannya dengan memberitahukan orang-orang bahwa mereka harus meninggalkan berhala mereka, menerima Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang benar dan menerima Muhammad sebagai rasul Allah. Ia juga akan mengutip ayat-ayat Al Quran untuk orang-orang tersebut. Ketika orang-orang meminta tanda, ia menjawab, “Al Quran adalah tanda bagimu” (Surat 29:50-51).

Peristiwa dalam beberapa tahun kemudian menunjukkan bahwa Muhammad kemudian mengembangkan sebuah strategi baru untuk memantapkan agama Islam dan melindungi dirinya sendiri.

Dalam satu, dua tahun berikutnya, dua orang yang paling berpengaruh dalam hidup Muhammad, meninggal dunia – pamannya, Abu Talib, yang melindunginya dari musuh-musuhnya, dan isterinya yang memberikan dukungan moral (tahun 620 M). Muhammad berusia lima puluh tahun. Sejarah Islam mengatakan bahwa suku Qurais mulai mengancamnya, “dengan cara yang lebih menakutkan.” Sebagai contoh, ada seorang “pemuda yang tidak sopan yang melemparkan debu ke atas kepalanya”.11 Meski demikian, tidak ada serangan secara fisik, seperti memukul, upaya pembunuhan, atau apapun yang seperti itu. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa Muhammad merasa terancam karena itu ia mencari orang atau suku lain yang dapat melindunginya. (Para pengikutnya juga mencari pelindung bagi diri mereka). Sejarah agama Islam mengatakan bahwa ia pergi keluar Mekah kepada orang-orang Thaqif, kediaman suku Kinda, suka Kalb tetapi ditolak oleh mereka semua.12

Ketika pemimpin-pemimpin suku datang ke Mekah, Muhammad menemui mereka. Ia memberitahukan mereka bahwa ia adalah seorang nabi dan meminta mereka untuk percaya kepadanya dan melindunginya sampai Allah selesai menyampaikan wahyunya kepada mereka melalui hambanya.”13

Selain dari penganut agama Islam yang berasal dari kelas ekonomi bawah di Mekah, usaha Muhammad tampaknya menemui keberhasilan. Ia akhirnya memperoleh kesempatan melalui perang-perang panjang antara dua suku yang berdekatan di kota Medina, Aous dan Khazraj. Kedua suku ini datang ke Ka’abah di Mekah untuk naik haji dan menyembah berhala-berhala mereka. Setelah mereka selesai menyembah, beberapa perwakilan mereka bertemu dengan Muhammad pada malam hari di Al-Aqaba. Muhammad berkata kepada mereka, “Aku mengundang orang-orang yang setia kepadamu dengan harapan engkau akan melindungi aku sama seperti para perempuan dan anak-anakmu.” Salah satu dari pemimpin itu lalu menjawab:
“Aku bersumpah demi nama ia yang mengutusmu dengan kebenaran, kami akan melindungimu sama seperti kami melindungi keluarga kami. Tanda-tangani perjanjian ini dengan kami, wahai rasul Allah. Aku bersumpah, kami adalah anak-anak perang (kami tahu bagaimana mengalahkanmu). Kami mewariskan itu dari generasi ke generasi.”14

Jadi kita melihat orang-orang yang telah sering berperang mengadakan sumpah setia kepada Muhammad. Muhammad jelas membuat perjanjian militer dengan suku-sukku itu. Ia berkata kepada mereka, “Aku akan berperang dengan mereka yang berperang denganmu dan berdamai dengan orang yang berdamai denganmu.”15

Pada bagian ini, kita melihat kemiripan yang ironis dengan Yesus. Muhammad berkata kepada orang-orang yang ia temui, “Bawalah kepadaku dua belas orang yang akan mengurus hubungan di antara mereka.” Mereka mendapatkan sembilan orang dari suku-suku mereka dan tiga orang dari suku lain. Jadi Muhammad memilih dua belas orang inti untuk berjalan bersamanya, sama seperti Yesus memanggil duabelas orang rasul untuk berjalan bersamanya.

Sampai di sini, Muhammad telah menghabiskan waktu selama tiga belas tahum berkhotbah tentang Islam. Saat itu ia sudah mulai membuat persiapan untuk mengadakan perubahan besar.
Sekarang mari kita bandingkan gambaran dari hidup Muhammad dengan bagaimana cara Yesus menyampaikan pesan-pesannya.

KHOTBAH YESUS DAN KESEMBUHAN
Kita telah melihat perkembangan mulai dari pertengahan pertama kehidupan Muhammad sebagai seorang nabi, dan sekarang kita akan memperhatikan pertengahan pertama pelayanan Yesus. Maksud kami adalah satu dua tahun pertama yang telah ia habiskan untuk mengajar orang-orang dan melatih murid-muridnya sebelum ia mengirim mereka untuk berkhotbah sendiri.

Jadi, bagaimana Yesus menyampaikan pesannya? Ia berjalan dari kota ke kota di sekitar Galilea dan Yudea dan berkhotbah. Bagaimana ia membujuk orang-orang untuk percaya kepadanya? Ia menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir setan dan melakukan keajaiban-keajaiban terhadap alam.

Sebagai contoh, pada awal pelayanannya, ia mengusir setan keluar dari orang yang mengganggu pelayanannya di sinagoga di Kapernaum (Lukas 4:33). Kemudian Yesus pergi ke rumah Petrus dan menyembuhkan ibu mertua Petrus, yang sedang demam tinggi. Kemudian orang banyak berkumpul di rumah itu sampai malam hari. Mereka membawa kepada Yesus semua orang yang menderita berbagai macam penyakit, dan Yesus menyembuhan mereka dengan cara “menumpangkan tangan atas setiap orang” (Lukas 4:40).

Kegiatan ini membuat orang-orang meresponi Yesus dengan antusias ke manapun ia pergi. Orang-orang membawa kepadanya, “semua orang yang menderita penyakit, kerasukan setan, yang lumpuh dan menyembuhkan mereka” (Matius 4:24). Seseorang yang telah disembuhkan dari sakit kusta memberitakan kabar ini dengan sangat efektif sehingga Yesus tidak dapat pergi ke kota-kota lainnya dengan mudah karena kerumunan orang banyak. Ia kemudian meninggalkan keramaian itu untuk “menyendiri” namun orang-orang tetap saja mendatanginya di sana (Markus 1:45).

Setelah mujizat melipatgandakan makanan, orang-orang mulai berkata, “Sungguh, Dia adalah nabi yang diutus ke dunia.” Mereka kemudian siap “memaksanya untuk menjadi raja,” karena itu Yesus pergi ke bukit seorang diri (Yohanes 6:14-15).

Ia pun menjadi terkenal karena caranya mengajar. Matius mengatakan, “Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” (Matius 7:28-29, lihat juga Lukas 4, Matius 13:54). Yesus seringkali mengajarkan orang-orang dengan menceritakan sebuah kisah yang memiliki arti secara rohani (perumpamaan; Matius 13:34). Sebagai contoh, untuk mengajarkan orang tentang pengampunan, ia menceritakan kisah tentang seorang hamba yang dihapuskan hutangnya yang besar oleh tuannya (Matius 18:21-35).

Menjelang akhir tahun pertama, Yesus memilih dua belas orang dari mereka yang telah mengikutinya (Matius 10:1, Markus 3:13, Lukas 6:12). Kedua belas orang ini menjadi pengikutnya yang paling dekat. Yesus kemudian memberikan perintah kepada mereka untuk menyampaikan pesannnya.

Muhammad juga memulai pekerjaannya dengan dua belas orang pemimpin, dan mempersiapkan mereka untuk menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Arab. Mari kita lihat bagaimana ia melakukannya.

1 Ibn Ishaq, hal 111, 114.
2 Ibn Hisham, vol. 1, bagian 2, hal 91.
3 Ibn Ishaq, hal 115.
4 Ibid., hal 112.
5 Ibid., hal 118.
6 Ibid, hal 119.
7 Ibid, hal 131.
8 Ibid, hal 145.
9 Ibn Hisham, vol. 1, bagian 2, hal 222ff. Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, hal 159ff.
10 Ibn Ishaq, hal 160.
11 Ibid, hal 191
12 Ibid, hal 194-195
13 Ibid, hal 194.
14 Ibid. hal 203. Dalam sejarah Islam, peristiwa ini menunjuk pada “Sumpah kedua Al-Aqaba.”
15 Ibid, hal 204

Sabtu, 25 Juli 2009

PERMULAAN WAHYU

Muhammad : Usia 40 Tahun
Yesus : Usia 32 Tahun
Dalam bab ini, Anda akan melihat apa yang dilakukan oleh Yesus dan Muhammad ketika mereka menjadi seorang pemuda dan apa yang terjadi ketika mereka mulai mengajarkan cara-cara baru untuk memahami Tuhan.

PEKERJAAN DAN PERNIKAHAN MUHAMMAD
Sama seperti keadaan saat ini, pada zaman Muhammad, Arab adalah padang pasir. Ini berarti, untuk dapat bertahan, penduduknya harus berdagang dengan orang-orang dari daerah lain untuk mendapatkan makanan karena mereka tidak bisa bercocok tanam. Orang-orang dari suku Muhammad, yaitu suku Qurais adalah “orang-orang yang pandai berdagang.”[1] Pemimpin usaha dari Mekah akan mengirim kereta unta ke Siria atau Yaman penuh dengan barang dagangan. Ketika mereka tiba di tempat tujuan, pemimpin kereta akan menjual barang-barang mereka, menggunakan uang hasil dagang itu untuk membeli makanan dan barang-barang lain yang mereka butuhkan, mengisinya di kereta unta mereka dan kembali ke Mekah.

Salah satu kereta unta terbesar dimiliki oleh seorang perempuan yang paling kaya dan berpengaruh di Mekah, bernama Kadijah. Sejarah agama Islam mengatakan bahwa ketika ia melihat sifat-sifat jujur dan baik Muhammad, ia mempekerjakannya untuk memimpin kereta ke Siria. Ketika Muhammad kembali, barang-barang itu dijual dengan harga (kira-kira) dua kali lipat. Kadijah terkesan akan hal itu. Meskipun ia berusia lebih dari empat puluh tahun, telah empat kali bercerai dan memiliki beberapa orang anak, ia melamar Muhammad, manajer keretanya yang berusia dua puluh lima tahun. Orang-orang sering menjadi skeptis ketika mereka mendengar Kadijah melamar Muhammad. Tetapi inilah kebenaran seperti yang diceritakan dalam sejarah Islam. Keluarga Kadijah dan Muhammad juga bergumul dengan situasi ini.

Paman Muhammad yang mengangkatnya (Abu Talib) dan ayah Kadijah bertentangan dalam hal pernikahan tersebut. Di sinilah kemudian untuk pertama kainya sejarah menyebutkan figur utama dalam kehidupan Muhammad – sepupu Kadijah. Sepupunya itu bernama Waraqa bin Neufal. Ia adalah salah seorang pemimpin agama di Mekah karena ia adalah gembala sidang dari sebuah gereja besar.

Anda mungkin heran mendengar tentang sebuah gereja di Arab selama masa Muhammad. Semua tulisan sejarah Islam, terutama yang berhubungan dengan status keagamaan di Mekah pada saat itu, berbicara tentang kedatangan Kekristenan dari Barat (Siria, Mesir, Ethiopia, Yaman). Banyak suku di Arab memeluk Kristen sebagai agama mereka. Tetapi bentuk Kekristenan ini berbeda dengan yang digambarkan dalam Perjanjian Baru. Dua cabang yang terbesar adalah Ebionit dan Nestoria. Kedua kelompok ini menyangkal bahwa Yesus adalah Anak Tuhan atau bersifat ilahi.

Gereja Ebionit yang sangat besar dapat ditemukan di Mekah dipimpin oleh Uthman bin Al-Huweirith. Dan gembala sidang berikutnya adalah sepupu Kadijah, Waraqa bin Neufel.
Ketika Kadijah dan Muhammad hendak menikah, Waraqa mendukung mereka. Ia meyakinkan kedua keluarga untuk mengijinkan mereka berdua menikah, dan ia sendiri yang memimpin upacara pernikahan.[2] Jadi mungkin saja Muhammad menikah dengan cara Kristen dan isterinya kemungkinan juga memeluk keyakinan Ebionit.

Muhammad terus mengelola kereta Kadijah. Meskipun ia telah berusia empat puluh tahun, sejarah Islam mengatakan bahwa mereka berdua mempunyai enam orang anak – dua anak laki-laki yang meninggal ketika masih bayi dan empat anak perempuan.

KEHIDUPAN YESUS YANG TIDAK DIKETAHUI
Kami tidak mengetahui secara rinci mengenai apa yang dilakukan oleh Yesus ketika ia masih remaja atau anak muda. Apabila ia memperoleh pendidikan sebagai seorang anak Yahudi, maka ia akan mulai membaca dan menulis sejak usia lima tahun. Pada usia sepuluh tahun, ia akan telah memulai pelajaran tentang aturan orang-orang Yahudi atau Hukum Taurat. Pendidikan formalnya akan telah selesai pada usia delapan belas tahun. Dan karena Yusuf adalah seorang tukang kayu, Yesus mungkin telah belajar bagaimana cara berdagang darinya dan mulai mempraktekkannya.[3] (Ia disebut sebagai anak tukang kayu dalam Markus 6:3.)

Beberapa saat sebelum Yesus memulai pengajarannya kepada orang banyak, tampaknya Yusuf telah meninggal dunia karena ibu dan saudara-saudara Yesus disebutkan beberapa kali dalam kitab Injil, tetapi Yusuf tidak. Yesus merasa bertanggung-jawab untuk menjaga ibunya (Yohanes 19:26-27).
Kami tidak memiliki catatan apakah Yesus pernah menikah.
Kami dapat membuat beberapa kesimpulan mengenai kehidupan keagamaan Yesus. Misalnya, ketika ia pergi ke sinagoga di Nazaret, ia diberikan kesempatan untuk membaca dari Kitab Suci. Ia paham tentang keadaan di sekitar sinagoga, dan ikut serta di dalam penyembahan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi di tempat itu (Lukas 4:16).

Setelah ia mulai berkhotbah kepada orang banyak, kitab Injil mengatakan bahwa Yesus akan pergi untuk berdoa seorang diri, jadi dapat kami asumsikan bahwa ia juga selalu melakukan hal ini sebelum ia mengajar orang banyak.

Ini adalah gambaran umum tentang kehidupan keagamaan Yesus. Muhammad juga ikut serta di dalam kehidupan keagamaan di Ka’abah di Mekah pada zamannya, dan selalu menyediakan waktu untuk bermeditasi. Sekarang mari kita melihat lebih dekat lagi bagaimana hal ini kemudian berkembang dan melahirkan wahyu pertama dalam ajaran agama Islam.

WAHYU YANG DATANG KEPADA MUHAMMAD
Sebagai seorang pemuda di usia dua puluh tahunan, Muhammad mulai berpergian secara teratur ke sebuah gua kecil di salah satu gunung yang mengitari kota Mekah, menghabiskan waktu untuk berdoa kepada Tuhan yang tidak terlihat, mencari wajah dari Tuhan Sang Pencipta. Ia akan menghabiskan waktu satu, dua atau tiga hari pada saat berdoa. Sementara itu, isterinya, Kadijah, akan membawakannya makanan dan minuman untuknya.[4]

Muhammad mendengarkan orang-orang berdiskusi dan menyampaikan pendapat mereka tentang Tuhan. Ia kemudian menjadi sangat dipengaruhi oleh ajaran Ebionit melalui isterinya, Kadijah, dan sepupunya Waraqa bin Neufal.[5] Waraqa menjadi pembimbing Muhammad, dan mengajarkannya tentang Kekristenan. Sebuah hadits mengatakan bahwa Waraqa pernah mengambil bagian dalam penginjilan di tanah Arab.[6]

Beberapa catatan sejarah mengatakan bahwa hanya kitab Matius yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa itu, jadi kemungkinan Muhammad hanya belajar dari kitab Matius. Ia juga mungkin diajarkan tetang keyakinan dari agama Yahudi. Ajaran ini berasal dari Perjanjian Lama, meski mungkin hanya terbatas pada kitab Taurat (lima kitab pertama dari Perjanjian Lama yang ditulis oleh Musa) dan kitab Mazmur, yang dikenal sebagai Puji-pujian Daud.

Pada saat yang sama, Muhammad tampaknya juga masih terus pergi ke Ka’abah. Kami dapat menyimpulkan hal ini karena seorang sejarahwan mengatakan bawha Muhammad bertemu dengan Waraqa suatu saat ketika ia mengelilingi Batu Hitam di tengah-tengah Ka’abah.[7]
Jadi pada masa-masa itu di dalam hidupnya, Muhammad menikah, menjalankan kereta, belajar agama dari sepupunya yang beraliran Ebionit dan melakukan meditasi pribadinya di dalam gua-gua di sekitar Mekah. Ia terus mempraktekkan hal ini selama lebih dari limabelas tahun.
Kemudian, pada usia empat puluh tahun (610 M), ia mendapat sebuah pengalaman yang menakutkan dirinya. Muhammad telah bermediasi selama bulan Suci Ramadhan di Gua Hira, ketika kemudian dikatakan, “Kebenaran turun ke atasnya.”
Malaikat Gabriel menampakkan diri kepadanya dan berkata, ”Bacalah!”
Lalu Muhammad menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”
Malaikat itu menangkapnya dan “menekan tubuhnya” dengan keras sehingga Muhammad berpikir ia tidak tahan lagi. Kemudian malaikat itu berkata lagi, “Bacalah!”
Muhammad menjawab lagi, “Aku tidak bisa membaca.”
Sekali lagi, malaikat itu menekan tubuhnya dan melepaskannya lagi dan memberitahukan Muhammad apa yang harus dibacanya, “Bacalah! Di dalam Nama Tuhanmu yang telah menciptakan (semua yang ada). Ia telah menciptakan manusia dari gumpalan (darah kental yang membeku). Bacalah! Dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Ayat ini adalah ayat pertama yang diwahyukan di dalam Al Quran. Mereka tercatat di dalam Surat 96:1-3.

Bagaimana Muhammad menanggapi pengalaman ini? Ia berkata bahwa jantungnya mulai berdetak sangat kencang atau “jantungnya bergetar.” “Otot-otot lehernya mengalami kekejangan secara tiba-tiba.” Ia lari ke rumah dan bertemu isterinya sambil berteriak, “Lindungi aku! Lindungi aku!” Mereka kemudian melindunginya sampai rasa takutnya hilang.
Lalu ia berkata kepada isterinya, “Oh Kadijah, apa yang salah pada diriku? Apakah yang terjadi padaku? Saya sangat ketakutan.” Ia menceritakan seluruhnya kepada isterinya. Isterinyapun sadar bahwa ia membutuhkan beberapa nasehat. [8]

PENDETA KRISTEN MENEGUHKAN WAHYU ATAS MUHAMMAD
Sampai di sini, sepupu Kadijah mulai masuk kembali dalam cerita. Kadijah mengirimkan Muhammad kepada sepupunya dan memberitahukan sepupunya bahwa Muhammad telah mendengar dan melihat. Pada saat itu sepupunya telah menjadi tua dan kehilangan penglihatannya. Waraqa menjawab, “Kudus, Kudus, Kudus - Aku bersumpah dalam nama Tuhan yang ke dalam tangan-Nya kuserahkan hidupku, aku bersumpah Kadijah, bahwa ini adalah tanda besar yang telah datang kepada Musa, dan Muhammad adalah nabi bagi bangsa Arab. Tetaplah teguh dan jadilah kuat.” Kadijah kembali kepada Muhammad dan memberitahukannya ada yang dikatakan oleh Waraqa.[9]

Keesokan harinya, Muhammad bertemu dengan Waraqa di dalam Ka’abah, dan sekali lagi Waraqa bersumpah, “Dalam nama Tuhan yang mengendalikan hidupku, engkau adalah nabi nagi bangsa Arab ini dan engkau telah menerima tanda dari Tuhan yang telah mendatangi Musa di masa lalu. Orang-orang akan menolakmu, menganiaya kamu, dan menendangmu keluar dari kotamu dan berkelahi dengan engkau, dan jika aku hidup pada waktu (penganiayaan) itu, aku akan membela Allah dengan cara yang tidak seorangpun tahu kecuali Allah sendiri.” Lalu ia menundukkan kepalanya kepada Muhammad dan menciumnya pada wajahnya dan Muhammad kembali pulang ke rumah.[10]

Meskipun Waraqa bersumpah akan mendukung Muhammad, ia tidak mampu memenuhi janjinya. Hanya beberapa hari atau beberapa saat kemudian, Waraqa meninggal dunia.[11]
Jadi di sini kita melihat gambaran Muhammad yang memiliki pengalaman di gua, meski tidak jelas signifikansinya, tetapi isteri dan sepupu isterinya mendukung gagasan bahwa ia telah dipilih menjadi nabi dari Tuhan yang sesungguhnya. Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi ketika Yesus pertama kali menyatakan bahwa dirinya adalah seorang nabi.

YESUS DAN YOHANES PEMBAPTIS
Yesus dan Yohanes Pembaptis telah terhubungkan, bahkan sebelum kelahiran mereka. Ketika ibu Yesus mengetahui bahwa dirinya hamil, ia pergi ke rumah ibu Yohanes (sepupunya) untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepadanya (Lukas 1:39-45).
Ketika Yesus dan Yohanes berusia awal tiga puluh tahunan, Yohaneslah yang pertama kali muncul di hadapan orang banyak. Ia keluar dari Gurun Pasir Yudea dan mulai berkhotbah kepada orang banyak bahwa mereka harus bertobat dari dosa-dosa mereka. Orang-orang datang dari Yerusalem dan dari seluruh daerah Yudea untuk melihatnya. Ketika mereka mengakui dosa-dosa mereka, ia membaptis mereka di Sungai Yordan.
Orang-orang Yahudi berpikir bahwa mungkin Yohanes adalah Mesias yang mereka nanti-nantikan. Tetapi Yohanes berkata kepada mereka, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.” (Lukas 3:16)
Kemudian Yesus meninggalkan Nazaret dan datang kepada Yohanes untuk dibaptis. Kitab Injil mencatat:

“Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari sorga: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”
-- Markus 1:10-11 --

Sejak saat itu, Yohanes mengakui Yesus sebagai nabi (Mesias) yang telah diramalkan oleh Kitab Suci agama Yahudi.

“Dan Yohanes memberi kesaksian, katanya: "Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal di atas-Nya. Dan aku pun tidak mengenal-Nya, tetapi Dia, yang mengutus aku untuk membaptis dengan air, telah berfirman kepadaku: Jikalau engkau melihat Roh itu turun ke atas seseorang dan tinggal di atas-Nya, Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus. Dan aku telah melihat-Nya dan memberi kesaksian: Ia inilah Anak Tuhan.”
-- Yohanes 1:32-34 --

Yohanes terus berkhotbah dan membaptis, tetapi orang-orang mulai meninggalkannya dan pergi mendengarkan Yesus. Ketika salah seorang murid Yohanes mengeluhkan tentang hal ini, Yohanes berkata kepadanya:

“Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya. Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”
-- Yohanes 3:28-30 --

Pesan Yohanes kepada orang banyak mengenai pertobatan tidak berhenti. Ia bahkan secara terbuka mengritik Raja Herodes karena menikahi isteri saudaranya. Sebagai akibatnya, Herodes memasukkan Yohanes ke dalam penjara dan bahkan memenggal kepalanya (Markus 6:14-29).
Jadi kita melihat beberapa persamaan yang menarik di sini. Baik Yesus maupun Muhammad diteguhkan menjadi seorang nabi oleh sepupu mereka, dan keduanya meninggal tidak lama setelah itu.

WAHYU YANG TERHENTI
Pada saat yang bersamaan dengan meninggalnya Waraqa, penurunan wahyu kepada Muhammad terhenti. Ia berhenti menerima kunjungan dari malaikat Gabriel.
Muhammad lalu berkata ia menjadi....

“sangat sedih... hingga ia beberapa kali menjatuhkan dirinya dari puncak gunung tinggi dan setiap kali ia hendak naik ke puncak gunung untuk menjatuhkan dirinya, malaikat Gabriel akan menampakkan diri di hadapannya dan berkata, “Ya Muhammad! Engkaulah Rasul Allah yang sesungguhnya.” Setelah itu hatinya menjadi tenang dan ia kembali ke rumah.”[12]

Muhammad kemudian menghabiskan waktu selama satu bulan di Gua Hira, untuk mencari wahyu selanjutnya, lalu turun kembali ke lembah. Ketika ia berjalan, Muhammad diceritakan mendengar seseorang memanggilnya dengan suara keras:

“Aku mencari di depanku, di belakangku, di sebelah kanan dan kiriku, tetapi aku tidak melihat satu orangpun. Sekali lagi aku mendengar namaku dipanggil dan aku mencari-cari tetapi aku tidak melihat apapun. Aku dipanggil lagi, lalu kuangkat kepalaku, dan disana aku melihat sebuah singgasana, dan di atasnya duduklah malaikat Gabriel. Aku mulai gemetar ketakutan. Aku datangi Kadijah dan berkata, “Tutupi aku.” Mereka menutupi aku dan menyiram air kepadaku dan Allah, uang Maha Mulia dan Agung menurunkan wahyu ini: “Kamu yang diselubungi kain! Bangkitlah dan sampaikanlah peringatan ini, Tuhanmu adalah Maha Kuasa dan sesungguhnya pakaianmu telah dibersihkan.”[13]

Ayat ini dicatat dalam Al Quran Surat 74:1-5. Setelah ini, wahyu pun kemudian kembali datang, “secara kuat, sering dan teratur.”[14]
Jadi ayat ini dianggap sebagai ujian pertama bagi Muhammad sebagai seorang nabi. Yesus pun mengalami ujian sesaat setelah Yohanes Pembaptis memperkenalkannya sebagai nabi dan “Anak Domba Tuhan.” Mari kita lihat hal itu sekarang.

PENCOBAAN YESUS DI PADANG GURUN
Setelah dibaptis oleh Yohanes, Yesus pergi ke padang gurun dan berpuasa selama empat puluh hari. Pada akhir puasanya, Injil Matius mencatat bahwa Setan mencobai Dia sebanyak tiga kali. Pertama, setan berkata:

“Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Tuhan, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Tuhan." Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Tuhan, lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Tuhan, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu." Yesus berkata kepadanya: "Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhanmu!" Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku." 10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhanmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
-- Matius 4:3-10 --

“Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Tuhan, kata-Nya: "Waktunya telah genap; Kerajaan Tuhan sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”
-- Markus 1:14-15 ---

Di sini kita melihat bahwa Yesus begitu percaya diri tentang tujuan dan identitas dirinya sejak awal. Ia tidak bermasalah ketika harus menghadapi pencobaan. Sebaliknya, Muhammad membahayakan diri sendiri ketika wahyu kepadanya berhenti diberikan. Sekarang, mari kita lihat respon dari orang-orang kepada pesan yang disampaikan oleh Muhammad dan Yesus.


[1] Ibn Ishaq, hal 82.
[2] Abu Musa al-Hariri, Priest and Prophet: Research on the Rise of Islam, edisi 13 (Libanon: House for the Advancement Scholarship, 1991), 231 hal 37. Al-Hariri membuat beberapa daftar yang berisikan informasi tentang Waraqa, termasuk: Tabakat ibn Saad, vol. 1, hal 19, 129, 131, 156, 168; As Sirah al Halabiyah, vol. 1, hal 147, 152-153; Al Sirah Al Mecciyah, vol. 1, hal 188; The History of the Prophet and the Kings, dikenal juga sebagai Tarif Al-Tabari, vol. 2, hal 281; Ibn Hisham, vol. 1, hal 174. Saya menemukan buku ini setelah saya menjadi seorang Kristen dan tinggal di Afrika Selatan. Abu Musa aalah nama pena untuk seorang pendeta Marionite dari Libanon yang menulis tentang hubungan antara Islam dan Kekristenan. Pendeta ini menghabiskan hidupnya di biara, meneliti tentang hubungan antara Alkitab dengan Al Quran, dan antara Kekristenan dengan wahyu kepada Muhammad. Buku ini terkenal di lingkungan orang-orang Kristen berbahasa Arab di Timur Tengah. Yang mengejutkan saya adalah bahwa pendeta ini menulis dalam bahasa Arab klasik dengan sangat fasih. Saya tidak pernah berpikir bahwa seorang Kristen bisa menggunakan bahasa ini. Pendeta ini sangat terampil menggunakan Al Quran, hadits dan sumber-sumber sejarah lainnya. Sebagai contoh, saya mengetahui tentang Waraqa dari kuliah saya di Al-Azhar, tetapi saya tidak tahu banyak tentang keyakinan dari sektenya, kelompok Ebionit. Di Al-Azhar, kami tidak pernah menyerah untuk memberikan informasi atau tanda bahwa Muhammad juga dipengaruhi oleh sumber-sumber dari luar. Buku ini diberikan oleh seorang misionaris Libanon kepada saya yang mengambil kelas dari si penulis di seminari Katolik di Libanon. Setiap kali pendeta ini mengutip ayat dari Al Quran atau Hadits, saya memeriksanya kembali dan ternyata ia benar. Saya tidak dapat memeriksa beberapa dari sumber-sumbernya hanya karena saya tidak memiliki bukunya. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
[3] Jesus-Institute.org, History and Timeline of Jesus, “First Century Context of Palestine (Israel),” latar pendidikan, www.jesus-institute.org (diakses pada tanggal 2 Januari 2004).
[4] Sahih al-Bukhari (The Corrects Book of Bukhari), vol. 9, buku 93, no. 588, terjemahan bahasa Inggris oleh Dr. Muhammad Muhasin Khan. Bahan ini diakses dari website University of Southern California, 2003.
[5] Al Hariri, Priest and Prophet.
[6] The Correct Books of Bukhari, vol. 6, buku 60, no. 478 dan vol. 4, buku 55, no. 605. Hadits ini juga menyatakan bahwa Waraqa lebih sering menulis dalam bahasa Ibrani daripada bahasa Arab. (Lihat juga The Correct Books of Bukhari, vol. 1, buku 1, no. 3).
[7] Ibn Kathir, The Beginning and the End.
[8] Kisah ini diceritakan oleh Aisha, isteri kedua Muhammad yang mengatakan bahwa ia mendengarnya sendiri dari Muhammad. Baik The Correct Books of Muslim maupun The Correct Books of Bukhari mencatat kisah ini dalam kumpulan kisah mereka dengan sedikit perbedaan di dalamnya. Lihat The Correct Books of Bukhari, vol. 9, buku 87, no. 111 dan vol. 1, buku 1, no. 3; The Correct Books of Muslim, buku 1, no. 301.
[9] Aspek dalam cerita ini disampaikan oleh Abdullah bin al Zubair, anak dari salah seorang teman baik Muhammad. Cerita ini dicatat dalam Ibn Hisham, vol. 1, bagian 2, hal 73.
[10] Ibn Hisham, vol. 1, bagian 2, hal 73.
[11] The Correct Books of Bukhari, vol. 1, buku 1, no. 3 dan vol. 6, buku 60, no. 478.
[12] Ibid., vol. 9, buku 87, no. 111. Diceritakan oleh Aisah.
[13] The Correct Books of Muslim, buku 1, no. 307. Diceritakan oleh Jabir.
[14] The Correct Books of Bukhari, vol. 1, buku 1, no. 3.

Bagian 2 - KEHIDUPAN YESUS dan MUHAMMAD

Pengalaman Hidup Masa Kecil

Ketika saya membawa kisah hidup Yesus di dalam Alkitab untuk pertama kalinya, saya terkejut mengetahui ada beberapa peristiwa dalam kehidupan Yesus yang memiliki persamaan dengan kehidupan Muhammad. Di bab ini, kita akan berjalan bersama melalui masa kecil dari kedua orang ini dan menemukan beberapa peramaan yang mengejutkan. Mari kita mulai dengan kenyataan bahwa mereka berdua dilahirkan sebagai anak laki-laki pertama.

KELAHIRAN
Muhammad lahir di Mekah, Arab, pada tanggal 2 Agustus tahun 570 (hari kedua belas, bulan Rabiya, pada kalendar bulan). Ayah Muhammad meninggal sebelum ia lahir, dan Muhammad adalah anak pertama dan anak satu-satunya yang lahir bagi ibunya. Sejarah Islam mencatat beberapa rincian lainnya, tetapi ada sebuah kisah tentang malam ketika ia dilahirkan. Kisah ini diceritakan oleh salah satu pengikut awal Muhammad yang mengatakan,

“Ibuku menceritakan bahwa ia melihat Aminah Binti Wahab, ibu dari Rasul Allah, melahirkan pada malam Muhammad lahir, dan ia (ibu Muhammad) berkata, “Tidak ada yang aku lihat pada malam itu selain daripada terang. Aku melihat bintang-bintang mendekati aku, hingga aku berkata mereka akan jatuh menimpaku.”[1]

Dengan kata lain, ketika Muhammad lahir, ibunya menyatakan bahwa pada malam itu begitu terang hingga sepertinya bintang-bintang turun ke bumi.
Sekarang mari kita lihat tentang kisah kelahiran Yesus. Hampir enam ratus tahun sebelumnya, seorang perawan Yahudi bernama Maria berkata bahwa malaikat Gabriel datang kepadanya dengan membawa kabar bahwa ia akan melahirkan seorang anak yang akan dinamakan “Anak Tuhan” (Lukas 1:35). Seperti yang telah dikatakan oleh malaikat itu, Maria kemudian hamil, meskipun ia adalah seorang perawan. Kehamilannya menjadi sebuah skandal karena ia telah bertunangan tetapi belum menikah. Tunangannya yang bernama Yusuf berpikir untuk mengakhiri hubungan itu diam-diam, tetapi seorang malaikat berkata kepadanya dalam sebuah mimpi bahwa Maria hamil oleh karena Roh Kudus. Ketika hamil, Maria sempat mengunjungi sepupunya, Elizabeth dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Alkitab mencatat puji-pujiannya:

“Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Tuhan, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.”
-- Lukas 1:46-49 --

Elizabeth pada saat itu juga sedang hamil seorang anak laki-laki – Yohanes Pembaptis – yang akan memainkan peranan penting dalam kehidupan Anak Maria. Maria tinggal di rumah Elizabeth selama kurang lebih tiga bulan dan kemudian kembali ke kampung halamannya dan kepada Yusuf.
Pada akhir kehamilannya, Maria dan Yusuf diminta untuk berjalan dari kampung halaman mereka di Nazaret ke kota Betlehem untuk mendaftarkan diri dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh bangsa Romawi. Di Betlehem inilah, Maria kemudian melahirkan Yesus, anak pertamanya. Alkitab menceritakan secara rinci mengenai proses kelahiran Yesus pada saat itu.

NUBUATAN TENTANG BAYI YESUS
Di dalam kisah kehidupan Yesus dan Muhammad, keduanya dinubuatkan ketika mereka masih kanak-kanak. Nubuat tentang Yesus terjadi ketika ia masih bayi. Kitab Lukas menceritakan bahwa, “Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan... dan untuk mempersembahkan korban...” (Lukas 2:22-24)
Seorang nabi bernama Simeon melihat bayi Yesus di dalam Bait Tuhan. Ia menaruh bayi itu di tangannya dan berkata, “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.” (Lukas 2:29-32)
Seorang perempuan bernama Hana datang menemui mereka pada saat yang bersamaan dan mengucap syukur kepada Tuhan dan “berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.” (Lukas 2:38)
Selanjutnya, kita akan melihat persamaan nubuat yang diberikan kepada Muhammad ketika ia masih seorang remaja.

KISAH TENTANG PEMBERSIHAN DI DALAM DIRI MUHAMMAD
Meski tidak ada cerita tentang Muhammad ketika ia masih bayi, namun ada sebuah kisah yang sangat terkenal ketika ia masih kanak-kanak. Jika Anda adalah seorang Muslim yang tinggal di Timur Tengah, Anda akan mendengar tentang kisah ini berulang-ulang kali. Saya perkirakan, kisah ini disebutkan dalam hampir 25% dari semua ceramah!

“Malaikat Gabriel datang kepada Rasul Allah ketika ia sedang bermain dengan teman-temannya. Ia memegangnya lalu membaringkannya di tanah, kemudian membuka dadanya dan mengambil keluar hatinya lalu mengeluarkan gumpalan darah dari dalamnya dan berkata, “Ini adalah tiga bagian dari setan.” Kemudian ia membasuhnya dengan air Zamzam yang ada di dalam sebuah tempat berwana emas dan kemudian menyatukannya kembali dan memperbaikinya ke tempatnya semula. Anak-anak lainnya kemudian berlari ke ibunya (pengasuhnya) dan berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh.” Mereka kemudian berlari ke arahnya (dan menemukan ia dalam keadaan baik-baik saja). Raut wajahnya berubah, kata Anas.”[2]

Cerita ini disampaikan untuk memberikan tempat khusus bagi Muhammad di dalam keyakinan agama Islam.

MASA KECIL MUHAMMAD DI SEKITAR KA’ABAH
Karena suaminya meninggal, ibu Muhammad kemudian membawa bayinya pergi dan tinggal bersama keluarganya. Mereka tinggal bersama untuk kurang lebih selama enam tahun, sampai ia kemudian terkena demam dan meninggal. Muhammad lalu tinggal bersama kakeknya dari pihak ayahnya. Keluarga ayahnya berasal dari suku Qurais, salah satu suku yang paling berpengaruh di Mekah. Suku ini bertugas untuk menjaga tempat berdoa utama bagi seluruh orang Arab, yaitu sebuah kuil yang dipenuhi dengan berhala yang dikenal sebagai Ka’abah. Kakek dari Muhammad adalah salah seorang yang membantu memelihara Ka’abah. Ia melakukan tugas perbaikan dan kebersihan.
Kuil ini dibuat dari dinding tembok yang besar, dengan struktur seperti balok di bagian tengahnya. (Kata Ka’abah berarti “kubus”). Monumen balok ini dibentuk seperti segitiga dan ditutupi dengan kain-kain tenunan pada saat itu. Sebelum agama Islam lahir, orang-orang percaya bahwa Abrahamlah yang membangun balok tersebut. Monumen ini dikenal juga dengan sebutan Batu Hitam, menunjuk pada batu kecil yang dipercaya sebagai batu yang jatuh dari sorga, dan disimpan di dalam monumen tersebut. Setiap tahun, Kakek dari Muhammad akan memindahkan tutupnya, mencuci susunan batu itu dan menempatkan tutup yang baru ke atasnya.
Semua suku pada saat itu percaya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, tetapi mereka tidak tahu pasti siapa Tuhan yang Maha Kuasa itu. Mereka kemudian mencari perantara untuk menghubungkan mereka dengan Tuhan yang Maha Kuasa tersebut. Oleh karena itu mereka membentuk bermacam-macam patung berhala. Mengenai patung-patung berhala itu Al Quran mengatakan:

“Tetapi, mereka yang mengambil pelindung selain daripada Allah (berkata), “Kami melayani mereka hanya untuk membawa kami lebih mendekat kepada Allah.”

-- Surat 39:3, Terjemahan Ali --

Meskipun setiap suku memiliki patung berhala yang berbeda satu sama lain, namun mereka semua berjalan mengelilingi Batu Hitam sebagai bagian dari ritual sembahyang mereka. Meski demikian, mereka tidak mempercayai Batu Hitam itu sebagai lambang dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Setiap tahun, semua suku juga memiliki tradisi untuk berziarah. Jadi selalu ada suku yang datang mengunjungi Ka’abah, meski berasal dari suku yang berbeda-beda. Ketika suku-suku itu datang, mereka memberikan berbagai macam persembahan seperti uang, makanan atau hewan-hewan yang disimpan oleh petugas kebersihan dan suku Qurais.
Ketika masih kanak-kanak, Muhammad sering mengunjungi Ka’abah bersama kakek dan anggota keluarganya yang lain. Membersihkan kuil ini telah menjadi bagian dari keluarga mereka selama turun temurun. Ketika Muhammad masih sangat muda, kakeknya meninggal dan tugas membersihkan kuil diserahkan kepada salah satu anak laki-lakinya, Abu Talib. Abu Talib kemudian merasa terpanggil untuk memelihara Muhammad, dan Muhammad pun akhirnya tinggal bersama paman dan saudara-saudara sepupunya.
Muhammad menghabiskan waktu cukup banyak di sekitar Ka’abah dan ia terus melihat orang-orang datang sujud menyembah kepada berhala dan para pedagang mulai membuat dan memperdagangkan patung-patung tersebut. Pengalaman pada masa mudanya itu memberikan dampak yang sangat besar bagi Muhammad.
Pada waktu itu, Muhammad bersumpah bahwa kelak apabila ia menjadi besar, ia tidak akan pernah sujud menyembah kepada salah satu dari patung-patung itu di seluruh Mekah dan Arab.[3] Jadi kita lihat bagaimana pengaruh agama-agama pada masa Muhammad terhadap kehidupan Muhammad. Sekarang mari kita perhatikan bagaimana agama dari orang-orang pada masa Yesus mempengaruhi kehidupannya.

KUNJUNGAN YESUS KE BAIT TUHAN PADA MASA KECILNYA
Yusuf dan Maria tidak dapat kembali ke kampung halaman mereka di Nazaret setelah mereka mendaftarkan diri untuk sensus peduduk. Hal ini karena beberapa orang bijak dari Timur melihat sebuah bintang bersinar dan mengartikan hal itu sebagai tanda bahwa Raja orang Yahudi yang mereka nanti-nantikan telah lahir. Mereka pergi kepda Raja Herodes di Yerusalem dan menanyakan kepadanya di mana mereka dapat menemui raja itu. Raja Herodes, yang bukan orang Yahudi dan telah ditunjuk menjadi Gubernur oleh pemerintah Roma, tidak menyukai adanya gagasan tentang lahirnya seorang Raja yang lain. Ia lalu memanggil beberapa orang ahli Taurat dan menanyakan tentang nubuatan Kitab Suci. Mereka memberitahukannya bahwa Raja itu akan lahir di Betlehem (Matius 2:5). Raja Herodes lalu memberitahukan orang-orang bijak itu untuk mencari di mana bayi itu, dan melaporkan kepada dirinya. Orang-orang bijak itu kemudian menemui Yesus, tetapi mereka tidak memberitahukan kepada Herodes tentang hal itu.
Ketika Herodes sadar bahwa ia telah diperdaya oleh orang-orang bijak itu, ia menjadi sangat marah dan memerintahkan agar semua anak laki-laki yang berusia di bawah dua tahun, di Betlehem dan sekitarnya harus dibunuh. Yesus hendak dibunuh pada saat itu, tetapi malaikat Tuhan memberitahukan Yusuf untuk membawa keluarganya ke Mesir. Setelah Herodes meninggal, barulah Yusuf, Maria dan Yesus kembali ke Nazaret.
Setiap tahun Yusuf, Maria dan anak-anak mereka berjalan menuju Yerusalem untuk merayakan Paskah. Alkitab mengatakan Yesus mempunyai beberapa orang adik laki-laki.) Di sana mereka akan mengunjungi bait Tuhan, yang dibangun oleh Herodes untuk merebut hati orang-orang Yahudi. Bait ini dibangun secara mengagumkan, terbuat dari batu bata berwarna putih yang dikelilingi tembok besar dengan pilar-pilar di setiap sisinya.
Setiap tahun, Yesus kembali ke Nazaret dengan kelompoknya. Tetapi, ketika ia berusia dua belas tahun. Ia duduk mendengarkan pengajaran para ahli-ahli Taurat. Keluarga dan teman-temannya pergi setelah mendengarkan sekian lama, tetapi Yesus tidak mau pergi. Ia tetap menunggu dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan mereka.
Setelah berjalan seharian, ibu dan ayahnya menyadari bahwa Yesus hilang. Mereka sangat gelisah dab keesokkan paginya mereka kembali ke Yerusalem. Selama dua hari mereka mencari di seluruh kota, bertanya kepada setiap orang kalau-kalau mereka melihat putera mereka. Ketika mereka menemukannya di bait Tuhan, ibunya bertanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” Yesus menjawab, “Tidakkah engkau tahu bahwa Aku harus berada di rumah Bapa-Ku?” (Lukas 2:48-49)
Jadi Yesus menarik dirinya mendekat ke bait Tuhan, sementara Muhammad kecewa terhadap Ka’abah. Sekarang mari kita lihat apa yang dikatakan oleh seorang pendeta Kristen kepada Muhammad.

NUBUAT SEORANG PENDETA ATAS MUHAMMAD
Paman Muhammad, Abu Talib, kadang-kadang pergi dengan salah seorang pedagang kereta karavan dari Mekah. Ketika Muhammad berusia dua belas tahun, ia ditemani pamannya melakukan perjalanan ke Siria. Ketika kereta mereka tiba di Siria, mereka dilewati oleh sekelompok kecil pendeta yang disebut Bahira. Bahira adalah bagian dari sekte Nestoria yang menyatakan dirinya Kristen tetapi menolak mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Anak Tuhan. Sebagian besar penduduk Arab yang menyatakan dirinya sebagai Kristen, sebenarnya adalah kelompok Nestoria atau Ebionit, yang menolak bahwa Yesus adalah Anak Tuhan.

Sejarah dalam agama Islam menyebutkan bahwa kemudian kereta ini dihentikan oleh para pendeta yang meminta mereka untuk berhenti dan makan bersama mereka. Para pendeta ini tertarik kepada Muhammad dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Ia mengatakan jawaban-jawaban Muhammad tepat sekali dengan apa yang disampaikan oleh kitabnya tentang nabi yang akan datang. Ia lalu melihat tanda di antara bahunya. Ketika ia melihat tanda itu, ia berkata kepada paman Muhammad, “Lihatlah, anak ini akan menjadi nabi terakhir bagi dunia ini. Ini adalah lambang dari kenabian.” Ia lalu mengingatkan, “Jangan biarkan orang-orang Yahudi mendengar tentang hal ini atau melihat tanda lahir pada bahunya. Jika mereka menemukannya, mereka akan mencoba untuk membunuhnya.”[4]

Apa yang saya sampaikan kepada Anda adalah benar-benar catatan dari sejarah Islam mengenai peristiwa tersebut. Namun demikian, ada masalah dengan sudut pandang sejarahnya. Memang ada beberapa catatan tentang kepercayaan Nestoria dan Ebionit. Tetapi kami tidak punya bukti bahwa mereka sedang mencari nabi yang lain.

KESIMPULAN
Apa yang dapat kita lihat dari masa kanak-kanak Yesus dan Muhammad? Mereka berdua sama-sama dipengaruhi oleh kepercayaan pada masa itu dan menghabiskan waktu di tempat sembahyang agama-agama tersebut. Mereka berdua sama-sama telah dinubuatkan ketika mereka masih kecil. Sementara Yesus menerima kepercayaan orang-orang pada masa itu, Muhammad justru mempertanyakan berhala-berhala yang disembah orang-orang di zamannya. Hal ini membentuk tahapan awal dari kehidupan sosial mereka.

[1] Ibn Hisham, The Life of Muhammad, edisi ketiga, vol. 1, bagian 1 (Beirut, Libanon: Dar-al-Jil, 1998), hal 295. Diceritakan oleh Uthman Ibn Abi El-Aas. Lihat juga Ibn Kathir, The Beginning and the End, vol. 1, bagian 2 (Beirut, Libanon: The Revival of The Arabic Tradition Publishing House, 2001), hal 289. Saya telah menceritakan anekdot tentang ibu Muhammad ini karena telah diketahui oleh sebagian besar umat Islam, “Apakah hal ini benar-benar otentik?” Karena Muhammad sendiri tidak pernah menceritakan kisah ini. Kisah ini muncul tiga belas tahun setelah kematian Muhammad, dan Uthman katakan bahwa ia mendengar cerita ini dari ibunya. Jadi ini memperbesar kemungkinan bahwa Uthman menceritakan kisah ini untuk membantu meyakinkan orang-orang bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang nabi. Komentar Uthman tentang bintang-bintang sepertinya telah diinspirasikan dari kisah Yusuf ketika ia bercerita kepada ayahnya bahwa ia melihat matahari, bulan dan bintang-bintang sujud menyembahnya (Surat 12).
[2] Sahih Muslim, (The Correct Books of Muslim), terjemahan dalam Bahasa Inggris oleh Abdul Hamid Siddiqui: Kitab Bhaven, 2000; Chicago, IL:Kazi Publication 1976), buku 1, no. 311. Bahan ini dapat diakses di website Universitas Southtern California website, 2003. Dikisahkan oleh Anas ibn Malik. Hadits lainnya juga mencatat kisah ini dengan versi yang paling populer yaitu dengan menggambarkan adanya dua malaikat di dalam skenario tersebut.
[3] Dr. A. Shalaby, Encyclopedia of Islamic History (Kairo, Mesir: Dar al-Nahadah, 1973)
[4] Ibn Kathir, The Beginning and the End, Vol. 1, bagian 2, hal 297. Lihat juga Ibn Hisham, Vol. 1, bagian 1, hal 321, dan Ibn Ishaq, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah, diterjemahkan oleh A. Guillaume, cetakan ke-16 (Karachi, Pakistan: Oxford University Press, 2003) hal 79-81.

Rabu, 22 Juli 2009

Bagian 1 - LATAR BELAKANG SAYA

Dibesarkan dalam Ajaran Islam

Hari itu adalah hari yang indah di musim dingin di Mesir. Udaranya dingin dan matahari bersinar terang. Saya baru saja menyelesaikan sarapan di rumah, tempat di mana saya tinggal bersama ibu, ayah, saudara-saudara lelaki, saudara perempuan, kakek dan paman saya. Saya berusia lima tahun pada saat itu, tetapi saya mengingat dengan jelas akan hari itu.

Paman saya berkata kepada saya, “Kita akan membaca Al Quran bersama-sama. Apakah kamu memiliki salinanmu?” Dengan segera saya pergi mengambil sebuah buku tipis yang diberikan paman saya sebelumnya. Buku itu bukanlah Al Quran secara keseluruhan, hanya sepertigapuluh bagiannya.

Paman saya baru saja lulus dari sebuah universitas Islam yang paling bergengsi di dunia, Al Azhar di Kairo. Pada usianya yang baru tiga puluh tahunan, ia sekarang telah menjadi imam di sebuah mesjid besar di wilayah kami dan dihormati oleh seluruh umat Islam yang taat.

Kami berjalan bergandengan tangan menyeberangi jalan untuk menuju kebun keluarga kami, yang ditanami pohon anggur, pohon ara dan pohon jeruk. Kebun buah ini berada di samping sebuah sungai, dan ketika kami duduk di tepi sungai itu, kami dapat melihat para nelayan, perahu-perahu kecil dan para petani membawa kerbau mereka untuk minum dan mandi.

Paman saya mulai membaca. Kata-kata itu begitu akrab bagi saya karena saya telah mendengarnya hampir di seluruh hidup saya – di mesjid, di radio dan dari guru baca Al Quran yang kami bayar untuk datang ke rumah kami. Paman saya membaca ayat pertama dari bagian terakhir Al Quran. Lalu ia meminta saya untuk mengulangi bacaan yang telah ia baca. Saya pun melakukannya. Kemudian ia mengoreksi pengucapan bahasa Arab kuno saya dan menyuruh saya untuk mengulangi dengan mengikutinya sekali lagi. Saya melakukannya. Kami melakukan hal ini berulang-ulang kami sampai saya menghafal ayat ini dengan sempurna. Lalu kami melanjutkan dengan ayat 2.

Kami membaca tiga sampai empat ayat dengan cara seperti ini. Lalu kami terhenti sejenak. Orang-orang selalu ingin bertanya kepada paman saya pertanyaan-pertanyaan tentang hukum Islam dan keimanan karena ia adalah salah satu dari beberapa orang sarjana yang tinggal di wilayah kami. Sambil menunggunya, saya bermain di tepi air. Kemudian ia memanggilnya, ”Pulanglah, dan minta ibumu untuk membantumu bersiap-siap pergi ke mesjid.”

Saya berlari pulang ke rumah, dan ketika saya baru saja masuk melalui pintu depan, saya mendengar kakek memanggil saya dari kamarnya, “Kemari, kemari..” Kakek saya ini telah berumur delapan puluh tahunan dan telah rabun. Saya sangat menyayanginya, karena itu saya berlari masuk ke kamarnya dan mencium tangannya sementara ia berbaring di tempat tidurnya. Kemudian saya melompat ke tempat tidurnya lalu memeluknya. Ia berkata, “Katakan padaku, apakah kamu telah membaca Al Quran?”

Saya menjawab, “Sudah.”
Ia berkata lagi, “Bacakanlah untukku,” dan saya pun melakukannya.
Ia sangat bahagia mendengar saya membacanya. “Anakku,” katanya, “Saya bersyukur kepada Allah karena engkau. Engkau akan menghafal seluruh isi Al Quran. Engkau akan menjadi lilin bagi keluarga kita.”

Saya menganggukan kepala lalu keluar dari kamarnya untuk bersiap-siap pergi ke mesjid. Hari itu adalah hari Jumat, hari suci dalam agama Islam, hari dimana khotbah disampaikan di mesjid. Ibu membantu saya mengenakan jubah putih dan topi kopiah – pakaian tradisional kami untuk pergi ke mesjid. Setelah paman saya siap, kami berjalan setengah mil menuju mesjid bersama-sama sekeluarga. Paman saya memberikan khotbah, sementara ayah, kakak-kakak dan saya duduk di barisan paling depan. Sedangkan Ibu dan kakak perempuan saya serta kerabat perempuan lainnya duduk di belakang, di barisan perempuan.
Inilah yang saya ingat tentang hari itu, hari di mana saya mulai menghafal isi Al Quran.

SEBUAH CARA HIDUP
Sejak hari itu, paman menjadi penasihat saya. Ia membimbing saya hampir setiap hari.
Ketika saya berumur enam tahun, ia memasukkan saya ke sekolah dasar Al-Azhar. Ada lima puluh sekolah dasar sekuler di propinsi kami tetapi hanya ada satu sekolah dasar Al-Azhar. Sekolah bergengsi ini difokuskan pada pendidikan agama Islam. Tidak satupun diantara kakak laki-laki dan perempuan saya yang bersekolah di sekolah ini, tetapi mereka tidak marah ataupun iri tentang hal ini. Mereka justru bangga dan turut merayakan ketika akhirnya saya lulus. Orang-orang mulai memanggil saya “Sheik Kecil.”

Saya tidak hanya memenuhi persyaratan sekolah untuk menghafal. Paman telah membantu saya untuk menghafal seluruh isi Al Quran (yang panjangnya kurang lebih sama dengan isi kitab Perjanjian Baru pada masa awal)

Hampir setiap pagi, saya pergi bersama ayah dan paman ke mesjid untuk shalat subuh, yang dimulai sekitar pukul 03.30 pagi dan berakhir sekitar pukul 04.30 (tergantung pada waktu setiap tahunnya). Setelah sembahyang, ayah dan paman biasanya pulang ke rumah untuk tidur sekitar dua jam lagi sebelum mulai bekerja. Saya biasanya menunggu di mesjid dengan salinan Al Quran saya. Sebelum saya mulai menghafal ayat-ayat yang baru, saya menguji diri saya sendiri akan ayat-ayat yang telah saya hafalkan dua hari sebelumnya. Setelah saya yakin bahwa hafalan saya benar, saya mulai dengan materi yang baru.

Saya membaca ayat pertama dari sebuah kutipan. Kemudian saya menutup Al Quran saya dan mengulang ayat tersebut sambil berjalan dari ujung yang satu ke ujung yang lain di dalam mesjid. Ketika saya selesai dengan ayat pertama, saya membuat Al Quran saya kembali dan membaca ayat yang kedua. Saya terus melakukan hal ini sampai saya selesai menghafalkannya.
Saya sangat berhati-hati mempertahankan apa yang telah saya pelajari, jadi saya menghabiskan waktu dua atau tiga hari dalam sebulan untuk meninjau ulang. Jika Anda bertanya kepada saya tentang sebuah ayat yang telah saya hafalkan beberapa bulan sebelumnya, ayat itu telah ada di dalam pikiran saya.


TUJUH TAHUN KEMUDIAN ....
Paman bukan hanya membantu saya untuk menghafal, tetapi ia juga memastikan bahwa saya memahami bahasa Arab kuno – bahasa di dalam Al Quran. Orang yang berbahasa Arab rata-rata tidak akan dapat membaca atau mengerti jenis bahasa Arab seperti ini dengan baik, dengan demikian mempelajari bahasa ini menjadi suatu hal yang penting dalam pendidikan agama.

Selama tujuh tahun, paman mengajari saya, ayat demi ayat dan pasal demi pasal. Ketika saya berusia dua belas tahun, saya telah berhasil menghafal Al Quran seluruhnya. Padahal sesuai dengan sistem pendidikan Al-Azhar, saya tidak diharuskan menghafal seluruh isi Al Quran sampai saya menyelesaikan program empat tahun - sarjana saya di univeristas, jadi saya masih sangat muda pada saat itu.

Tentu saja, keluarga saya sangat senang. Mereka kemudian mengadakan sebuah pesta besar-besaran bagi seluruh kaum kerabat kami, di ruang pertemuan besar yang dibuat khusus untuk merayakan acara-acara penting dalam keluarga kami. Saya tidak akan pernah melupakan kakek yang telah menjadi buta saat itu memanggil saya, “Anakku, di mana anakku?” Saya berlari ke arahnya dan ia memeluk saya, air mata berlinang membasahi wajahnya.

Berhasil mempelajari Al Quran menempatkan saya pada posisi yang sangat terhormat bagi seorang anak kecil. Orang-orang memperlakukan saya seperti orang kudus karena saya membawa buku kudus di dalam pikiran saya.

Sejak saat itu, saya secara berurutan membaca dan meninjau kembali Al Quran untuk memastikan bahwa saya tidak melupakan apa yang telah saya pelajari.

BERHASIL MENDAPATKAN BEASISWA
Ketika saya masuk Sekolah Menengah Al-Azhar, satu dari empat tugas utama kami adalah mengingat cerita-cerita yang paling penting dalam hadits.

Kebanyakan orang-orang Barat tidak mengetahui apa itu hadits, jadi ijinkanlah saya menjelaskannya. Hadits, yang diucapkan ha-DEETH, adalah catatan yang berisi ajaran dan tindakan dari Muhammad. Tulisan-tulisan ini dibuat oleh teman-taman dekatnya, pelayan-pelayannya, dan bahkan isteri-isterinya. Sebagai contoh, sebuah hadits menceritakan bagaimana Muhammad berdoa, bagaimana ia menyelesaikan perselisihan diantara dua orang Muslim atau peristiwa yang terjadi selama pertarungan. Ada hadits yang hanya berisikan sebuah kalimat panjang, tetapi ada juga yang berisi satu sampai dua halaman. Namun, rata-rata panjangnya adalah kurang lebih tiga paragraph.

Para pengikut Muhammad sangat berdedikasi untuk menjaga catatan mengenai apa yang ia katakan dan lakukan. Terdapat lebih dari setengah juta hadits! (Untuk informasi lebih lanjut, lihat Apendiks A)

Tentu saja tidak seorangpun dari antara kita yang dapat menghafal semua hadits. Tetapi sekolah kami memiliki hadits-hadits tertentu yang harus dihafal setiap semester. Pada hari pertama di kelas hadits, seorang guru akan memberikan sebuah buku dengan hadits yang harus kami hafalkan selama semester itu. Terdapat kurang lebih seratus hadits dalam setiap bukunya.

Kami menghafalkan satu sampai tiga hadits per hari selama tahun pelajaran. Paman saya ikut membantu saya dalam menghafal hadits tambahan, sementara saya menghafalkan beberapa hadits lainnya sendiri. Paman saya melatih saya untuk berkhotbah di mesjid, di mana saya telah melakukan hal itu sesekali ketika saya masih duduk di bangku SMA. Setelah tamat dari SMA, saya perkirakan saya telah menghafal antara lima sampai enam ribu hadits.

Pendidikan agama di SMA ini sangat menyeluruh. Ketika murid-murid lulus dari SMA Al Azhar pada usia delapan belas tahun, mereka telah berkualitas untuk memimpin doa dan mengajar di mesjid tanpa pendidikan lebih lanjut.
Saya adalah seorang penganut Islam yang sangat patuh pada saat itu. Kerinduan saya adalah mengikuti teladan Muhammad dalam setiap perbuatan saya.

MASUK UNIVERSITAS
Setelah lulus dari SMA, salah satu kakak lelaki saya menyarankan agar saya masuk sekolah farmasi. Tetapi anggota keluarga saya yang lainnya meminta saya untuk melanjutkan pendidikan agama saya. Jadi saya mendaftar ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan memilih untuk bersekolah di Jurusan Bahasa Arab, seperti yang paman saya lakukan.

Setiap orang Islam pasti telah mengetahui Universitas Al-Azhar karena universitas ini merupakan sekolah yang paling terkenal di negara-negara Islam. Pengaruhnya sulit untuk digambarkan kepada orang-orang Barat karena tidak ada universitas dengan status seperti ini di negara-negara Barat. Universitas ini sangat besar – hingga sanggup menampung mahasiswa berjumlah sembilan puluh ribu orang dari seluruh Mesir. Universitas ini sangat tua – Mesjid Al Azhar yang terdapat di dalam kampus ini selesai dibangun pada tahun 972 M, dan pelajaran akademis mulai diberikan tiga setengah tahun kemudian.[1] Universitas ini juga sangat dihormati – digambarkan dalam sebuah media Islam sebagai ”Kewenangan Tertinggi dalam Islam Sunni.”

Saya selalu menyukai pelajaran sejarah, jadi saya memilih jurusan Sejarah dan Budaya Islam. Saya ingin belajar lebih banyak tentang kesabaran, keberanian, dan komitmen Muhammad dan teman-temannya yang sangat saya kagumi.

Pada hari pertama di kelas, saya memperoleh pengantar pelajaran yang mengejutkan. Sheikh yang mengajar pada pelajaran pertama di hari itu bertubuh pendek, kulit gelap, sedikit berkumis dan mengenakan kacamata yang sangat tebal. Ia memberitahukan kami, “Apa yang saya sampaikan kepada kalian harus diterima sebagai sebuah kebenaran. Saya tidak akan mengijinkan diskusi dalam bentuk apapun di dalam kelas. Apa yang tidak saya katakan, tidak pantas untuk dipelajari. Dengar dan taati, dan jangan bertanya tentang apapun.”

Saya terganggu dengan filosofi seperti ini, dan saya berdiri untuk berbicara. Sheikh ini memperhatikan saya dengan segera karena saya duduk di baris kedua. Saya berkata, ”Wahai Guru Sheikh, bagaimana bisa ada pengajaran tanpa pertanyaan?”
”Dari mana asalmu, anak muda?” dia bertanya.
”Dari Mesir,” jawab saya, padahal sudah jelas saya adalah orang Mesir.
”Saya tahu – tapi Mesir bagian mana?”
Saya menyebutkan nama daerah saya, dan dia berteriak, ”Jadi jelas kamu adalah keledai dungu!” Ia berkata begitu karena orang-orang dari daerah saya memang sering dipandang rendah.

Saya lalu menjawabnya, ”Ya, saya adalah seekor keledai yang meninggalkan rumah dan datang kemari untuk dihina.”

Kelas menjadi sunyi. Saya keluar dari barisan kursi saya lalu melangkah menuju pintu untuk keluar dari kelas. Sheikh berteriak kepada saya, “Berhenti, kamu binatang! Siapa namamu?”
”Tidak ada untungnya aku beritahukan kepadamu,” jawab saya dingin.

Sampai di sini, sheikh ini menjadi sangat marah, dan mulai memanas-manasi untuk menghapus nama saya dari daftar universitas dan membuang saya ke jalan. Saya meninggalkan ruangan dan langsung pergi ke dekan fakultas saya. Saya menceritakan kepadanya apa yang terjadi. Setelah sheikh selesai dengan pelajarannya, dekan memanggilnya ke ruangan dekan.

Dekan ini sangat ahli meyakinkan sheikh tersebut untuk memaafkan saya dan ia juga meminta saya untuk lebih bersikap toleran kepadanya. “Terimalah dia seperti figur seorang ayah,” katanya, “yang ingin mengoreksi kamu dan bukannya menghinamu.”

Peristiwa ini mengajarkan kepada saya bagaimana untuk berdiam dan tunduk seperti yang diminta oleh universitas. Metode belajar kami adalah membaca buku yang ditulis oleh ahli-ahli agama Islam terbesar, baik yang modern maupun kuno. Kemudian kami akan membuat daftar poin-poin penting dari setiap buku dan menghafalkan daftar tersebut. Kami akan menjalani tes tertulis untuk setiap kelas dan beberapa guru akan meminta laporan. Saya juga membaca bacaan tambahan dan puisi berbahasa Arab untuk saya nikmati sendiri.

Walaupun saya tahu, seringkali saya mengajukan pertanyaan yang tidak disukai oleh guru-guru saya.

TERLALU BANYAK PERTANYAAN
Sebagai contoh, saya bertanya pada salah satu profesor, “Mengapa pada awalnya Muhammad mengajarkan kita untuk berteman dengan orang-orang Kristen tetapi kemudian meminta kita untuk membunuh mereka?”

Profesor itu menjawab, “Apa yang telah nabi perintahkan kepadamu untuk dilakukan, lakukanlah itu. Apa yang dilarangnya, maka itu terlarang untukmu. Apa yang ia ijinkan, maka itu diijinkan untukmu. Kamu bukanlah umat Islam yang sebenarnya jika kamu tidak tunduk kepada kata-kata Muhammad.”

Saya bertanya kepada profesor lainnya, “Mengapa Nabi Muhammad diijinkan untuk menikahi tiga belas perempuan, sedangkan kita diperintahkan untuk menikahi tidak lebih dari empat orang perempuan? Al Quran berkata, Muhammad hanyalah manusia biasa, tetapi mengapa ia mendapatkan hak istimewa?”

Profesor saya itu menjawab, “Tidak. Jika kamu perhatikan baik-baik, kamu akan melihat bahwa Allah memberikan kepadamu hak melebihi hak nabi. Allah meminta kamu untuk menikahi tidak lebih dari empat orang perempuan. Tetapi kami diberikan hak untuk menceraikan. Sehingga kamu dapat menikahi empat orang perempuan hari ini, dan menceraikan mereka keesokan harinya, dan menikahi empat orang perempuan lainnya. Dengan demikian kamu dapat memiliki isteri dalam jumlah yang tidak terbatas.”

Bagi saya, itu bukanlah jawaban yang masuk akal, terutama karena sejarah keislaman menunjukkan bahwa Muhammad juga mempunyai hak untuk menceraikan. Muhammad juga mendapatkan banyak masalah dengan isteri-isterinya hingga pada suatu hari ia mengancam hendak menceraikan mereka semua.

Saya bahkan bertanya pada Sheikh Omar Abdel, yang dikenal sebagai dalang di belakang serangan bom terhadap gedung World Trade Centers tahun 1993. Ketika saya masih kuliah di Al-Azhar, beliau adalah salah satu profesor di kelas penafsiran Al Quran.

Beliau memberikan kesempatan kepada kami untuk bertanya, karena itu saya berdiri di hadapan lima ratus siswa dan bertanya, “Mengapa setiap saat Anda mengajarkan kami semua tentang jihad? Bagaimana dengan ayat-ayat lain di dalam Al Quran yang berbicara tentang damai, kasih dan pengampunan?”

Wajahnya langsung memerah. Saya dapat melihat kemarahannya, tetapi saya juga melihat untuk memilih untuk mengendalikannya. Bukannya berteriak kepada saya, ia malah mengambil waktu untuk menegakkan posisi duduknya. “Saudaraku,” katanya, “ada surat (pasal) yang disebut ’Rampasan Perang’. Tetapi tidak ada surat yang dinamakan ’Damai’. Jihad dan membunuh adalah inti dari agama Islam. Jika kamu menghapusnya, maka kamu memotong inti dari Islam.” Jawaban yang saya dapat darinya dan profesor-profesor lainnya tidak memuaskan saya.

Beberapa orang menyebut saya sebagai si pembuat masalah, tetapi yang lainnya bersikap lebih sabar, meyakini bahwa saya benar-benar ingin belajar.

Pada saat yang sama, saya menonjol di dalam pelajaran saya. Setelah empat tahun, saya lulus dengan peringkat kedua terbaik dari enam ribu siswa. Peringkat ini didasarkan pada penilaian dari ujian lisan dan tulisan yang diberikan pada akhir tahun perkuliahan. Ujian lisan difokuskan pada hafalan Al Quran dan hadits dan ujian tertulis mencakup semua materi yang dipelajari di kelas. Setiap tahun Anda dapat mengumpulkan maksimal seribu lima ratus poin.

GELAR MASTER DAN MENGAJAR
Sebelum saya dapat mengambil gelar master saya, saya menghabiskan kewajiban satu tahun saya di angkatan bersenjata. Setelah selesai, saya kembali di Al-Azhar, saya memutuskan pada saat itu bahwa tidak ada profesor atau sheikh yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Saya harus menjawab pertanyaan saya sendiri. Melakukan penelitian untuk tesis master saya adalah kesempatan yang baik untuk hal ini.

Tidak ada seorangpun yang memberitahukan saya apa yang harus saya baca, jadi saya membaca banyak materi mengenai sejarah Islam. Tetapi, bukannya menemukan jawaban, saya malah menjadi kecewa dengan Islam. Tanpa membesarkan dengan segala cara, saya dapat katakan bahwa sejarah Islam adalah cerita tentang kekerasan dan pertumpahan darah dari zaman Muhammad sampai saat ini. Ketika saya melihat ajaran Al Quran dan Muhammad, saya dapat melihat mengapa sejarah Islam berkembang dengan cara seperti itu. Saya berpikir, Tuhan seperti apakah yang dapat mengampuni kerusakan hidup manusia seperti itu? Tetapi saya menyimpannya menjadi pertanyaan bagi diri sendiri.

Tesis master saya menimbulkan banyak keributan. Saya menjaga diri saya dari mempertanyakan Islam, tetapi saya menyentuh salah satu isu yang kontroversial, yaitu mengenai bagaimana bentuk pemerintah yang seharusnya dimiliki oleh sebuah negara Islam. Pemerintah Mesir menyukai gagasan saya dan membuatnya menjadi sebuah siaran langsung di sebuah stasiun radio Al Quran nasional untuk mempertahankan tesis saya.

Dari luar, saya tampak begitu sukses. Universitas meminta saya untuk mulai mengajar bidang yang saya kuasai – sejarah dan budaya Islam. Pada usia dua puluh delapan tahun, saya menjadi salah satu dosen termuda yang pernah ada. Saya juga memimpin doa dan ceramah di sebuah mesjid di pinggiran kota Kairo. Namun, di dalam hati saya, saya masih terus mencari kebenaran.
Sampai di sini, saya tidak lagi mengendalikan hidup saya. Saya tidak dapat berhenti dan mencari pekerjaan lain. Universitas, keluarga saya, orang-orang di lingkungan saya bertanya, Mengapa kamu lakukan ini? Tidak masuk akal untuk meninggalkan semua pendidikan ini. Saya tidak punya pilihan lain selain melanjutkan perjalanan ini. Saya pun mulai melanjutkan gelar doktor saya.
Meninggalkan Universitas

Saya menghabiskan waktu dua tahun melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktor. Selama itu, saya memiliki dua tanggung jawab utama. Saat itu saya mengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo dan universitas-universitas Islam lainnya yang ada di Timur Tengah. Tetapi, saya juga adalah pemimpin dari sebuah mesjid kecil. Saya memimpin doa pertama, keempat dan kelima setiap hari dan pada hari Jumat saya berkhotbah serta memimpin doa sepanjang hari.

Saya senang sekali mengajar dan berbicara dengan para murid. Tidak lama kemudian, saya mulai mengajar dengan cara yang baru. Saya mengijinkan mahasiswa saya untuk berdebat dan bertanya. Hal ini merupakan cara yang berbahaya untuk dilakukan. Seperti misalnya, ketika saya mengajarkan tentang pemimpin-pemimpin Islam pada masa mula-mula, ada cerita tentang Muawiya [Moo-uh-Ww-yuh] dan puteranya, inti dari tesis saya. Muawiya adalah salah seorang yang menuliskan pewahyuan Al Quran untuk Muhammad, yang tidak bisa membaca atau menulis. Ia kemudian menjadi pemimpin Islam dunia setelah Muhammad. Sebelum meninggal, ia menasehatkan puteranya untuk menangkap dan membunuh empat orang yang dapat mengancam kesempatannya puteranya itu untuk menjadi pemimpin Islam berikutnya. Puteranya ini kemudian mengikuti nasehatnya; dan atas nasehat ayahnya itu pula, ia membunuh cucu Muhammad demi mengamankan posisinya. Saya memberitahukan murid-murid saya, “Mari kita melihat kepada Tuhan dalam situasi ini. Kita perlu mencari cinta dan belas kasihan Tuhan dalam situasi ini.”

Saya ingin membangun semangat baru dalam kelas ini. Saya pernah tidak dijinkan untuk bertanya ketika saya masih menjadi mahasiswa. Tetapi, saya ingin mahasiswa saya berpikir bebas dan menggunakan otak mereka tanpa merasa takut karena adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.

Kebanyakan mahasiswa mampu berpikir kritis. Salah seorang bertanya, “Apakah hadits ini benar-benar ada? Jangan-jangan orang Yahudi yang membuatnya.” Saya mengajaknya untuk melihat sumber cerita itu dan menjawab, “Ini kisah nyata dan bukan karangan.” Jadi mereka benar-benar merenungkan pertanyaan itu. Tetapi beberapa mahasiswa yang radikal merasa bahwa saya memojokkan Islam, “Allah mengampuni kita,” teriak mereka. “Anda adalah dosen kami. Ajarkan kami tentang Islam. Anda membingungkan kami.”

Mahasiswa-mahasiswa ini mendatangi pemimpin universitas dan berkata, “Ini adalah dosen yang berbahaya. Kami tidak tahu apakah ia masih seorang muslim atau telah berpaling.”

Al-Azhar sangat takut akan adanya kekuatan asing yang menyerangnya dari dalam. Ketua departemen saya, memanggilnya saya untuk menemuinya. Saya pikir universitas akan menghancurkan saya, tetapi saya juga berpikir, “Dosen-dosen ini mengenal saya. Mereka mengetahui hati dan keinginan saya untuk belajar. Mereka juga mengetahui tidak ada pertanyaan saya yang baru.”

Dalam pertemuan itu, ketua departemen saya memahami perkembangan pemikiran saya. Ia menjadi takut karenanya. “Anakku,” katanya, “Kita tidak bisa melihat masalah ini dengan cara seperti itu. Ada aturan-aturannya dan kita harus mematuhinya. Kita tidak boleh berpikir lebih daripada Nabi atau Tuhan. Ketika engkau bingung, katakan saja, “Allah dan Rasulnya mengetahui kebenarannya.” Serahkan ini di tangan mereka dan lanjutkan.” Tetapi ia menyadari bahwa saya perlu ditangani.

Kemudian saya dipanggil dalam pertemuan lainnya dengan komite penegakkan peraturan universitas. Pertemuan ini berjalan dengan baik pada awalnya. Mereka tidak ingin saya keluar dari universitas tetapi juga saya tidak boleh mengritik Islam.

Pada awalnya mereka menunjukkan sikap mengatur. Mereka menanyakan tentang hidup, rumah dan keluarga saya. Kemudian mereka berbicara tentang kelas dan mahasiswa saya. Akhirnya, mereka menantang saya, “Mengapa Anda menanyakan pertanyaan seperti itu?” Tidakkah Anda mengetahui bahwa Anda harus mengatasi masalah ini sama seperti yang kita semua lakukan? Anda mengetahui banyak hal, tetapi tidak peduli berapapun banyaknya yang kita pelajari, banyak hal yang masih jauh dari kebenaran. Milikilah disiplin. Katakan apa yang Anda pahami. Tetapi, ketika ada pergumulan, katakan saja, ’Allah dan nabi-Nya yang mengetahui.’”

Mereka bertanya, “Apakah Anda telah mempelajari The Sword on the Neck of The Unbeliever seperti yang kami minta kepada Anda?” Ini adalah sebuah buku yang mengajak umat Islam untuk menerima ajaran Muhammad tanpa pertanyaan.
Saya menjawab, “Saya telah membacanya berulang kali, hingga saya hampir menghafalnya, sama seperti Al Quran.”

Sampai di sini, saya punya pilihan. Saya dapat menyangkal semua kesalahan saya, setuju untuk mengajar dengan cara lama, dan saya akan baik-baik saja. Atau, saya memberitahu mereka apa yang saya pikirkan. Saya menjawab, “Begini, apa yang saya katakan kepada Anda sekarang bukan karena saya ingin menuduh Nabi atau agama Islam. Saya sangat meyakini mereka di dalam hati saya. Anda mengetahui saya. Anda mencintai saya. Tolong jangan menuduh saya. Tetapi, carilah jalan untuk menolong saya dan menjawab pertanyaan saya.”

“Kita mengatakan Al Quran turun langsung dari Allah, tetapi saya meragukannya. Saya melihat itu sebagai hasil pemikiran dari seorang manusia, bukan firman dari Tuhan yang sebenarnya.”
Suasana dalam pertemuan seketika itu juga berubah. Seorang laki-laki menjadi marah. Ia bangkit dari tempat duduknya, berdiri di depan saya dan meludahi wajah saya. “Kamu seorang penghujat,” gertaknya. “Aku bersumpah, ibumu pasti seorang bajingan.” Saya dapat mengetahui dari wajahnya bahwa jika dalam pertemuan ini tidak ada orang lain, ia pasti sudah akan membunuh saya seketika itu juga. “Keluar,” teriaknya.

Saya berdiri hendak meninggalkan ruangan. Pada saat itu seluruh tubuh saya bergetar dan keluar keringat. Saya sadar bahwa kata-kata yang baru saja saya ucapkan merupakan jaminan kematian. Saya berpikir, “Apakah mereka akan membunuh saya? Bagaimana? Kapan? Siapa? Apakah keluarga yang saya akan melakukannya? Atau orang-orang di mesjid tempat saya mengajar? Atau murid-murid saya?

Kejadian itu adalah saat-saat terburuk dalam hidup saya.
Saya meninggalkan pertemuan itu dan pulang ke rumah. Saya tidak mengatakan apapun kepada keluarga tentang yang baru saja terjadi, tetapi kemudian saya mengerti bahwa saya kecewa terhadap sesuatu. Saya tidur lebih cepat malam itu.

PERJALANAN MENUJU PENJARA
Pada pagi-pagi benar, sekitar jam 3 pagi, pada malam yang sama, ayah saya mendengar suara ketukan di depan pintu rumah. Ketika ia membuka pintu, lima belas sampai dua puluh orang pria dengan cepat melewatinya sambil membawa senjata buatan Rusia, Kalashnikov. Mereka naik ke atas dan ke seluruh bagian rumah, membangunkan setiap orang yang mencari saya.

Satu diantara mereka menemukan saya tidur di tempat tidur saya. Seluruh keluarga terbangun, menangis dan ketakutan, ketika seorang pria menarik saya keluar dari pintu depan. Mereka mendorong saya ke bagian belakang mobil dan pergi. Saya terkejut, tetapi saya tahu, inilah hasil dari apa yang telah terjadi di universitas sehari sebelumnya. Saya ditaruh di tempat yang mirip dengan penjara dimana saya ditempatkan di dalam sel dengan tahanan lainnya.

Keesokan paginya, orangtua saya dengan gelisah mencoba mencari tahu apa yang telah terjadi kepada saya. Segera saja mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya, “Di mana anak kami?” Tetapi tidak seorangpun mengetahui tentang saya.
Saya berada di tangan polisi rahasia Mesir.

DITUDUH MENJADI SEORANG KRISTEN
Selama tiga hari, para penjaga tidak memberi saya makan ataupun minum.
Pada hari keempat, interogasi dimulai. Selama empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia ini adalah untuk membuat saya mengaku bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. Cara mereka adalah dengan meninggalkan saya sendirian sepanjang hari dan mengeluarkan saya dari sel pada malam hari untuk diiterogasi.

Pada malam pertama, pertanyaan dimulai di dalam sebuah ruangan dengan meja besar. Orang yang menanyakan saya duduk di belakang meja dengan sebatang rokok di tangannya, dan saya duduk di sisi lainnya. Ia yakin bahwa saya telah murtad dan menjadi seorang Kristen. Orang itu terus bertanya kepada saya, “Pendeta mana yang telah berbicara denganmu? Gereja mana yang telah kamu kunjungi? Mengapa kamu menghianati Islam?”

Ia melakukan lebih dari sekedar bicara. Saya memiliki bekas luka bakar pada tangan, lengan dan muka saya akibat sundutan rokok dan alat pemanas dari besi untuk menunjukkan kesungguhannya.

Ia ingin saya mengaku bahwa saya telah murtad, tetapi saya menjawab, “Saya tidak mengkhianati Islam. Saya hanya mengatakan apa yang saya percayai. Saya adalah seorang akademisi. Saya seorang pemikir. Saya punya hak untuk membahas topik apapun di dalam agama Islam. Ini adalah bagian dari pekerjaan dan kehidupan akademik saya. Saya bahkan tidak pernah bermimpi untuk murtad dari Islam – Islam adalah darah saya, budaya, bahasa, keluarga dan hidup saya. Tetapi jika Anda menuduh saya telah murtad dari Islam karena apa yang saya katakan kepadamu, maka keluarkanlah saya dari Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari Islam.”

Para penjaga menarik saya dan mengembalikan saya ke sel sepanjang hari itu itu. Teman satu sel saya yang berpikir saya dihukum karena saya adalah seorang pengkaji agama Islam, memberikan saya makanan dan minumannya.

Keesokan malamnya, saya dibawa ke dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur besi di dalamnya. Para penjaga selalu mengucapkan sumpah serapah atas saya dan menghina saya, mencoba untuk mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di tempat tidur dan mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.

Ketika saya bangun, mereka membawa sebuah tangki kecil berisi air dingin. Mereka memaksa saya untuk bangun, dan itu tidak lama sebelum akhirnya saya pingsan kembali. Ketika bangun, saya tergeletak di atas tempat tidur di mana mereka mencambuki saya, masih dengan pakaian yang basah.

Saya menghabiskan satu hari lagi di dalam sel. Malam berikutnya saya dibawa keluar, ke bagian belakang bangunan itu. Saya melihat ada sebuah ruangan kecil, tanpa jendela ataupun pintu. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah melalui jendela di bagian atasnya. Para penjaga itu kemudian memaksa saya untuk menaiki tangga menuju ke atas dan berkata, “Masuk.”
Saya meluncur ke bawah dari pintu masuk itu dan merasakan air di seluruh tubuh saya, tetapi kemudian saya merasakan kaki saya berpijak di atas tanah. Air menutupi tubuh saya sampai sebatas bahu. Kemudian saya melihat sesuatu berenang di atas air – tikus. “Orang ini adalah seorang pemikir dalam agama Islam,” kata mereka, “jadi kita biarkan saja tikus memakan kepalanya.”

Mereka menutup pintu atas, dan saya tidak dapat melihat apapun. Saya berdiri di air dan menunggu di dalam kegelapan. Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam. Keesokan paginya para penjaga datang kembali untuk melihat apakah saya masih hidup. Saya tidak akan pernah melupakan sinar matahari yang terlihat ketika pintu atas ruangan itu dibuka. Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus menaiki kepala dan bahu saya, tetapi tidak satu ekorpun yang mengigit saya. Para penjaga kemudian membawa saya kembali ke dalam sel dengan heran.
Malam harinya, para penjaga membawa saya ke depan sebuah ruangan kecil dan berkata, “Ada seseorang yang sangat mencintaimu dan ingin bertemu denganmu.”

Saya berharap itu adalah salah satu anggota keluarga atau teman saya yang mengunjungi atau membawa saya keluar dari penjara itu.

Mereka membuka pintu ruangan, dan di dalamnya saya melihat seekor anjing
besar. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu. Mereka mendorong saya masuk ke dalam dan menutup pintu.

Di dalam hati saya berteriak kepada Sang Pencipta, “Engkaulah Tuhanku. Engkau yang menjagaku. Bagaimana Engkau dapat meninggalkanku di tangan orang-orang jahat ini? Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang ini terhadapku, tetapi saya tahu bahwa Engkau bersamaku, dan satu hari nanti saya akan melihat-Mu dan bertemu dengan-Mu.”
Saya berjalan ke tengah ruangan yang kosong itu dan duduk dengan kaki bersila di atas lantai. Anjing itu lalu menghampiri saya dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu sementara anjing itu memandangi saya.

Anjing itu kemudian berdiri dan mulai berjalan mengelilingi saya, seperti seekor binatang yang hendak memakan sesuatu. Ia lalu berjalan ke sisi kanan saya, menjilati telinga saya, dan duduk. Saya sangat lelah. Tidak lama setelah ia duduk di sebelah kanan saya, saya pun tertidur.
Ketika saya bangun, anjing itu duduk di sudut ruangan. Lalu berlari ke arah saya dan duduk kembali di sebelah kanan saya. Ketika para penjaga membuka pintu, mereka melihat saya sedang berdoa, dengan anjing duduk di sebelah saya. Mereka mulai benar-benar bingung karena saya.

Itu adalah hari terakhir saya diinterogasi. Saya kemudian dipindahkan ke penjara permanen. Sampai di sini, di dalam hati saya, saya benar-benar menolak Islam.

Selama saat-saat itu berlangsung, keluarga saya terus mencoba mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka tidak berhasil sampai kakak lelaki ibu saya, salah seorang petinggi di Parlemen Mesir, kembali ke Mesir setelah berjalan-jalan dari luar negeri. Ibu saya memanggilnya dan sambil menangis tersedu-sedu ia berkata, “Selama dua minggu kami tidak tahu dimana putera kami berada. Ia hilang.” Paman saya memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari setelah saya diculik, ia datang ke penjara itu seorang diri dengan surat jaminan pembebasan dan membawa saya pulang ke rumah.

PERUBAHAN DIAM-DIAM
Beberapa orang mungkin berkata, “Tidak heran jika orang ini meninggalkan Islam. Ia kecewa karena ia dianiaya oleh orang-orang Islam.” Ya memang itu benar. Ketika saya dianiaya atas nama membela agama Islam, saya tidak membuat perbedaan antara orang Islam dengan ajaran Islam. Jadi penganiayaan merupakan dorongan terakhir yang memisahkan saya dari Islam.
Namun sesunguhnya saya telah mempertanyakan Islam beberapa tahun sebelum saya dipenjarakan. Pertanyaan saya itu bukan didasarkan pada tindakan umat Islam melainkan tindakan Muhammad dan para pengikutnya juga terhadap ajaran Al Quran. Dimasukkan dalam penjara hanya mempercepat langkah kemana saya akan pergi.

Saya kembali ke rumah orang tua saya untuk mencari tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Kemudian seorang polisi memberikan laporan kepada ayah saya:

“Kami telah menerima fax dari Universitas Al-Azhar yang menuduh anak Anda meninggalkan agama Islam, tetapi setelah inerogasi selama lima belas hari kami tidak menemukan bukti-bukti yang mendukung pertanyaan itu.”

Ayah saya lega mendengar hal itu. Ia tidak pernah bermimpi bahwa saya akan meninggalkan Islam, meskipun saya tidak memberitahukan kepadanya perasaan saya yang sebenarnya. Ia menganggap semua peristiwa ini adalah akibat perbuatan buruk orang-orang di universitas tempat saya mengajar. Saya mendukungnya untuk mempercayai hal itu.
“Kita tidak membutuhkan mereka,” katanya, dan segera setelah itu, ia meminta saya untuk memulai pekerjaan sebagai seorang Direktur Pemasaran di pabriknya. Namun, ia tidak memahami kekacauan yang terjadi di dalam diri saya.


Hari Di mana Saya Melihat Yesus dan Muhammad Berdampingan

Saat itu adalah saat untuk sholat subuh (sekitar jam 3.30 pagi) dan saya mendengar suara seluruh penghuni rumah bangun. Saya sudah bangun, tetapi saya tidak ingin meninggalkan ruangan saya.

Kejadian itu terjadi beberapa bulan setelah saya dibebaskan dari penjara dan saya tidak pernah lagi bersembahyang di mesjid. Saya tidak lagi pergi ke mesjid lima kali sehari dan sebagai gantinya saya duduk di tempat tidur atau meja saya, berdoa kepada Tuhan yang sesungguhnya agar Ia menampakkan diri kepada saya, Tuhan manapun yang membuat saya tetap hidup selama di dalam penjara. Terkadang saya tidak mampu berkata-kata di dalam doa saya itu. Saya hanya duduk dan menangis. Ingatan tentang keadaan selama saya di penjara itu selalu mendatangi saya.

Ibu saya mengetuk pintu kamar saya dengan lembut, “Apakah kamu akan ke mesjid hari ini,” ia bertanya.
“Tidak,” jawab saya, “Saya tidak ingin bertemu dengan orang lain.”

Dalam budaya Islam, jika Anda berdoa seorang diri di dalam kamar, iman Anda tidak akan dipertanyakan selama Anda masih berdoa kepada Allah, dan itu artinya Anda masih seorang Muslim. Keluarga saya berpikir, bahwa saya hanya membutuhkan waktu untuk pemulihan. Mereka berpikir bahwa saya hanya tidak ingin berada di antara orang banyak.

PERGUMULAN DI DALAM HATI SAYA
Saya keluar dari penjara dengan rasa marah terhadap agama Islam tetapi tetap meyakini bahwa ada kuasa yang luar biasa yang telah menjaga saya hingga tetap hidup. Setiap hari, keingintahuan saya akan “Tuhan” itu menjadi semakin besar. Setiap saat saya bertanya dalam hati, “Tuhan seperti apakah Dia?” Saya tidak pernah berpikir tentang Tuhannya orang Yahudi atau orang Kristen. Mengapa? Karena saya masih dipengaruhi oleh Al Quran dan ajaran-ajaran Muhammad. Al Quran mengatakan orang Kristen menyembah tiga Tuhan – Tuhan Bapa, Yesus Kristus sang Anak dan Maria, ibu Yesus. Saya sedang mencari Tuhan yang hanya ada satu, bukan tiga. Selain itu Al Quran katakan bahwa orang Yahudi adalah orang-orang yang jahat yang telah menyelewengkan Kitab Suci mereka. Jadi saat itu saya tidak akan memandang kepada Tuhan mereka.

Hal ini mendorong saya untuk melihat pada agama-agama di Timur Jauh – Hindu dan Budha. Saya telah mendengar tentang agama-agama ini ketika saya sedang menempuh kuliah S 1, dan saat itu saya telah menemukan banyak buku untuk mempelajari tentang agama-agama tersebut. “Apakah Tuhannya orang Hindu?” saya bertanya-tanya. “Atau apakah Tuhannya orang Budha?” Tetapi, setelah mempelajari semuanya itu, kesimpulan saya adalah “Tidak”.
Ketika saya hendak merenung, saya duduk di tepi sungai dan melihat airnya. Air, tanaman hijau, langit, alam – semua ini memberi saya harapan bahwa ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya.

Setiap hari setelah saya bekerja dengan ayah saya, saya kembali ke rumah dan menyantap makan malam bersama ibu dan dua saudara laki-laki saya yang belum menikah. Biasanya, setelah makan malam di malam Kamis, saya menceritakan sebuah cerita dari hadits yang sangat disukai oleh adik laki-laki saya. Tetapi, saya berhenti melakukan hal itu setelah keluar dari penjara. Sehingga adik saya selalu bertanya, “Mengapa kamu tidak mau lagi bercerita kepada kami?”

Setelah menyelesaikan makan malam, saya pergi keluar bersama beberapa orang teman. Kadang-kadang saya duduk di warung kopi, bermain kartu atau bermain catur. Kadang-kadang menonton acara olahraga di TV atau kami berjalan-jalan di tepi sungai nil.

Saya kembali ke rumah sekitar pukul 11 malam atau tengah malam dengan kelelahan. Ketika saya seorang diri lagi, saya merasa seperti orang yang tidak punya harapan di dunia ini karena saya belum bisa menemukan siapa itu Tuhan yang sesungguhnya. Saya menghabiskan waktu satu sampai dua jam setiap malam, mencoba untuk tertidur. Kemudian saya bangun pagi seperti biasa. Akibatnya tubuh saya menjadi lelah dan saya mulai mengalami sakit kepala akut.

Saya pergi ke dokter untuk melakukan scan terhadap otak saya. Meski demikian, sakit kepala itu tidak membuat saya berhenti bekerja dan meneruskan gaya hidup saya. Jika sedang sibuk, saya bisa melupakannya. Tetapi jika saya seorang diri di malam hari dan mencoba untuk tidur, maka sakit kepala itu menyerang sangat hebat. Dokter kemudian memberikan obat penghilang sakit yang diminum setiap malam.

RESEP BARU
Saya menjalani hidup seperti ini selama kurang lebih satu tahun. Suatu hari, sakit kepala itu menyerang begitu hebat, sehingga saya pergi ke apotek untuk membeli pil lagi. Seperti umumnya para apoteker di Mesir, apoteker (perempuan) yang saya datangi adalah orang Kristen. Saya telah bertemu dengannya cukup lama sehingga saya merasa nyaman untuk berbicara dengannya. Saya mulai mengeluh, “Pil-pil ini tidak lagi membantu saya seperti sebelumnya.”

Ia menjawab, “Kamu sepertinya sudah pada tahap berbahaya. Kamu mulai menjadi terbiasa dengan tablet-tablet itu. Kamu meminumnya bukan untuk menghilangkan rasa sakit tetapi karena kamu tidak bisa menghentikannya sekarang.” Lalu ia berkata dengan lembut, “Apa yang terjadi dalam hidupmu?” Ia tahu bahwa keluarga saya adalah keluarga terpandang dan bahwa saya lulus dari Al-Azhar. Saya memberitahukannya bahwa saya sedang mencari Tuhan. Ia terkejut. “Ada apa dengan tuhanmu dan agamamu?” katanya. Jadi saya menceritakan kisah saya kepadanya.

Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku dari bawah mejanya dan berkata perlahan-lahan, “Saya akan memberimu buku ini. Sebelum kamu meminum pilmu malam ini, cobalah untuk membaca sesuatu dari buku itu. Kemudian lihat apa yang kamu rasakan.”

Saya membawa pil-pil ini di tangan yang satu sementara tangan yang lainnya memegang buku itu. Buku itu berwarna hitam dengan tulisan “Kitab Suci” dalam bahasa Arab di bagian depannya. “Baiklah” kata saya. “Saya akan mencobanya.” Kemudian saya keluar dari apotek dan memegang buku itu sedemikian rupa sehingga bagian depannya menghadap ke tubuh saya dan judulnya tidak bisa dibaca. Lalu saya pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Ini adalah saat pertama dalam hidup saya membawa sebuah Alkitab. Saya berusia tiga puluh lima tahun pada saat itu.

MEMBACA ALKITAB
Saat itu adalah malam di musim panas, sekitar pukul 10.00. Sakit kepala saya begitu hebat, tetapi saya tidak meminum obat saya. Saya hanya menaruhnya di atas meja, dan melihat pada Alkitab itu. Saya tidak tahu harus membaca dari mana, jadi saya menjatuhkannya dan terbuka begitu saja. Alkitab itu ternyata adalah salinan dari Alkitab pribadi sang apoteker, dan saya memperhatikan catatannya pada halaman itu. Buku itu jatuh dan terbuka di Matius 5.

Saya mulai membaca tentang khotbah Yesus di atas gunung. Kemudian saya melihat sebuah gambaran – Yesus di atas gunung sedang mengajar kerumunan orang di sekitarnya. Sementara saya membaca, saya lupa kalau saya sedang di rumah. Saya tidak merasakan apa-apa di sekitar saya. Kitab Matius itu membawa saya dari satu cerita kepada cerita yang lain.

Otak saya mulai bekerja seperti komputer. Di dalam buku itu saya melihat gambar tentang Yesus. Di dalam otak saya, saya melihat gambar tentang Muhammad. Otak saya tidak berhenti untuk membuat perbandingan-perbandingan. Saya dipenuhi dengan Al Quran dan kisah hidup Muhammad sehingga tidak diperlukan upaya keras untuk mengingat semua hal itu. Gambaran-gambaran itu sepertinya ada di sana begitu saja.

Saya terus membaca Alkitab tanpa menyadari waktu, sampai akhirnya saya mendengar panggilan sembahyang pagi dari mesjid.

MEMBACA BERSAMA SAYA
Para pembaca yang terkasih, sekarang kita sampai sampai pada saat di dalam hidup saya, di mana saya ingin Anda mengetahuinya. Jika Anda ingin tahu apa yang terjadi pada saya setelah malam itu, Anda dapat membacanya pada akhir buku ini. Tetapi saya ingin berhenti sejenak di sini dan mengulang kembali situasinya bersama Anda.

Dulu saya adalah seorang sarjana yang menghabiskan waktu selama tiga puluh tahun untuk mempelajari agama Islam dan kehidupan Muhammad. Saya tidak hanya mempraktekkan ajaran Islam tetapi juga mengingatnya. Sekarang, di hadapan saya ada sebuah Alkitab yang memperkenalkan saya kepada Yesus.

Di halaman-halaman berikutnya, saya ingin Anda mengalami apa yang saya lihat pada malam itu di kamar saya di Mesir, dan apa yang telah saya temukan selama lebih dari sebelas tahun kemudian. Tidak ada pelajaran teologia di dalamnya, tidak ada komentar, dan tidak ada kata-kata khayalan. Saya tidak mempunyai seorangpun di samping saya untuk mengatakan, “Inilah yang dimaksudkan oleh Alkitab.” Saya hanya membacanya seperti apa yang disampaikan kepada saya. Saya tidak membutuhkan seseorang untuk memberitahukan, “Inilah yang Muhammad katakan atau lakukan.” Saya telah mengingatnya dari sumbernya langsung.
Ijinkanlah saya memperkenalkan kepada Anda, Yesus dan Muhammad.










[1] Islam for Today s.v. Universitas Al-Azhar, Kairo, “Historical Background,” http://www.islamfortoday.com/alazhar.htm, (diakses pada tanggal 17 Desember 2003)