Dibesarkan dalam Ajaran Islam
Hari itu adalah hari yang indah di musim dingin di Mesir. Udaranya dingin dan matahari bersinar terang. Saya baru saja menyelesaikan sarapan di rumah, tempat di mana saya tinggal bersama ibu, ayah, saudara-saudara lelaki, saudara perempuan, kakek dan paman saya. Saya berusia lima tahun pada saat itu, tetapi saya mengingat dengan jelas akan hari itu.
Hari itu adalah hari yang indah di musim dingin di Mesir. Udaranya dingin dan matahari bersinar terang. Saya baru saja menyelesaikan sarapan di rumah, tempat di mana saya tinggal bersama ibu, ayah, saudara-saudara lelaki, saudara perempuan, kakek dan paman saya. Saya berusia lima tahun pada saat itu, tetapi saya mengingat dengan jelas akan hari itu.
Paman saya berkata kepada saya, “Kita akan membaca Al Quran bersama-sama. Apakah kamu memiliki salinanmu?” Dengan segera saya pergi mengambil sebuah buku tipis yang diberikan paman saya sebelumnya. Buku itu bukanlah Al Quran secara keseluruhan, hanya sepertigapuluh bagiannya.
Paman saya baru saja lulus dari sebuah universitas Islam yang paling bergengsi di dunia, Al Azhar di Kairo. Pada usianya yang baru tiga puluh tahunan, ia sekarang telah menjadi imam di sebuah mesjid besar di wilayah kami dan dihormati oleh seluruh umat Islam yang taat.
Kami berjalan bergandengan tangan menyeberangi jalan untuk menuju kebun keluarga kami, yang ditanami pohon anggur, pohon ara dan pohon jeruk. Kebun buah ini berada di samping sebuah sungai, dan ketika kami duduk di tepi sungai itu, kami dapat melihat para nelayan, perahu-perahu kecil dan para petani membawa kerbau mereka untuk minum dan mandi.
Paman saya mulai membaca. Kata-kata itu begitu akrab bagi saya karena saya telah mendengarnya hampir di seluruh hidup saya – di mesjid, di radio dan dari guru baca Al Quran yang kami bayar untuk datang ke rumah kami. Paman saya membaca ayat pertama dari bagian terakhir Al Quran. Lalu ia meminta saya untuk mengulangi bacaan yang telah ia baca. Saya pun melakukannya. Kemudian ia mengoreksi pengucapan bahasa Arab kuno saya dan menyuruh saya untuk mengulangi dengan mengikutinya sekali lagi. Saya melakukannya. Kami melakukan hal ini berulang-ulang kami sampai saya menghafal ayat ini dengan sempurna. Lalu kami melanjutkan dengan ayat 2.
Kami membaca tiga sampai empat ayat dengan cara seperti ini. Lalu kami terhenti sejenak. Orang-orang selalu ingin bertanya kepada paman saya pertanyaan-pertanyaan tentang hukum Islam dan keimanan karena ia adalah salah satu dari beberapa orang sarjana yang tinggal di wilayah kami. Sambil menunggunya, saya bermain di tepi air. Kemudian ia memanggilnya, ”Pulanglah, dan minta ibumu untuk membantumu bersiap-siap pergi ke mesjid.”
Saya berlari pulang ke rumah, dan ketika saya baru saja masuk melalui pintu depan, saya mendengar kakek memanggil saya dari kamarnya, “Kemari, kemari..” Kakek saya ini telah berumur delapan puluh tahunan dan telah rabun. Saya sangat menyayanginya, karena itu saya berlari masuk ke kamarnya dan mencium tangannya sementara ia berbaring di tempat tidurnya. Kemudian saya melompat ke tempat tidurnya lalu memeluknya. Ia berkata, “Katakan padaku, apakah kamu telah membaca Al Quran?”
Saya menjawab, “Sudah.”
Ia berkata lagi, “Bacakanlah untukku,” dan saya pun melakukannya.
Ia sangat bahagia mendengar saya membacanya. “Anakku,” katanya, “Saya bersyukur kepada Allah karena engkau. Engkau akan menghafal seluruh isi Al Quran. Engkau akan menjadi lilin bagi keluarga kita.”
Saya menganggukan kepala lalu keluar dari kamarnya untuk bersiap-siap pergi ke mesjid. Hari itu adalah hari Jumat, hari suci dalam agama Islam, hari dimana khotbah disampaikan di mesjid. Ibu membantu saya mengenakan jubah putih dan topi kopiah – pakaian tradisional kami untuk pergi ke mesjid. Setelah paman saya siap, kami berjalan setengah mil menuju mesjid bersama-sama sekeluarga. Paman saya memberikan khotbah, sementara ayah, kakak-kakak dan saya duduk di barisan paling depan. Sedangkan Ibu dan kakak perempuan saya serta kerabat perempuan lainnya duduk di belakang, di barisan perempuan.
Inilah yang saya ingat tentang hari itu, hari di mana saya mulai menghafal isi Al Quran.
SEBUAH CARA HIDUP
Sejak hari itu, paman menjadi penasihat saya. Ia membimbing saya hampir setiap hari.
Ketika saya berumur enam tahun, ia memasukkan saya ke sekolah dasar Al-Azhar. Ada lima puluh sekolah dasar sekuler di propinsi kami tetapi hanya ada satu sekolah dasar Al-Azhar. Sekolah bergengsi ini difokuskan pada pendidikan agama Islam. Tidak satupun diantara kakak laki-laki dan perempuan saya yang bersekolah di sekolah ini, tetapi mereka tidak marah ataupun iri tentang hal ini. Mereka justru bangga dan turut merayakan ketika akhirnya saya lulus. Orang-orang mulai memanggil saya “Sheik Kecil.”
Saya tidak hanya memenuhi persyaratan sekolah untuk menghafal. Paman telah membantu saya untuk menghafal seluruh isi Al Quran (yang panjangnya kurang lebih sama dengan isi kitab Perjanjian Baru pada masa awal)
Hampir setiap pagi, saya pergi bersama ayah dan paman ke mesjid untuk shalat subuh, yang dimulai sekitar pukul 03.30 pagi dan berakhir sekitar pukul 04.30 (tergantung pada waktu setiap tahunnya). Setelah sembahyang, ayah dan paman biasanya pulang ke rumah untuk tidur sekitar dua jam lagi sebelum mulai bekerja. Saya biasanya menunggu di mesjid dengan salinan Al Quran saya. Sebelum saya mulai menghafal ayat-ayat yang baru, saya menguji diri saya sendiri akan ayat-ayat yang telah saya hafalkan dua hari sebelumnya. Setelah saya yakin bahwa hafalan saya benar, saya mulai dengan materi yang baru.
Saya membaca ayat pertama dari sebuah kutipan. Kemudian saya menutup Al Quran saya dan mengulang ayat tersebut sambil berjalan dari ujung yang satu ke ujung yang lain di dalam mesjid. Ketika saya selesai dengan ayat pertama, saya membuat Al Quran saya kembali dan membaca ayat yang kedua. Saya terus melakukan hal ini sampai saya selesai menghafalkannya.
Saya sangat berhati-hati mempertahankan apa yang telah saya pelajari, jadi saya menghabiskan waktu dua atau tiga hari dalam sebulan untuk meninjau ulang. Jika Anda bertanya kepada saya tentang sebuah ayat yang telah saya hafalkan beberapa bulan sebelumnya, ayat itu telah ada di dalam pikiran saya.
TUJUH TAHUN KEMUDIAN ....
Paman bukan hanya membantu saya untuk menghafal, tetapi ia juga memastikan bahwa saya memahami bahasa Arab kuno – bahasa di dalam Al Quran. Orang yang berbahasa Arab rata-rata tidak akan dapat membaca atau mengerti jenis bahasa Arab seperti ini dengan baik, dengan demikian mempelajari bahasa ini menjadi suatu hal yang penting dalam pendidikan agama.
Selama tujuh tahun, paman mengajari saya, ayat demi ayat dan pasal demi pasal. Ketika saya berusia dua belas tahun, saya telah berhasil menghafal Al Quran seluruhnya. Padahal sesuai dengan sistem pendidikan Al-Azhar, saya tidak diharuskan menghafal seluruh isi Al Quran sampai saya menyelesaikan program empat tahun - sarjana saya di univeristas, jadi saya masih sangat muda pada saat itu.
Tentu saja, keluarga saya sangat senang. Mereka kemudian mengadakan sebuah pesta besar-besaran bagi seluruh kaum kerabat kami, di ruang pertemuan besar yang dibuat khusus untuk merayakan acara-acara penting dalam keluarga kami. Saya tidak akan pernah melupakan kakek yang telah menjadi buta saat itu memanggil saya, “Anakku, di mana anakku?” Saya berlari ke arahnya dan ia memeluk saya, air mata berlinang membasahi wajahnya.
Berhasil mempelajari Al Quran menempatkan saya pada posisi yang sangat terhormat bagi seorang anak kecil. Orang-orang memperlakukan saya seperti orang kudus karena saya membawa buku kudus di dalam pikiran saya.
Sejak saat itu, saya secara berurutan membaca dan meninjau kembali Al Quran untuk memastikan bahwa saya tidak melupakan apa yang telah saya pelajari.
BERHASIL MENDAPATKAN BEASISWA
Ketika saya masuk Sekolah Menengah Al-Azhar, satu dari empat tugas utama kami adalah mengingat cerita-cerita yang paling penting dalam hadits.
Kebanyakan orang-orang Barat tidak mengetahui apa itu hadits, jadi ijinkanlah saya menjelaskannya. Hadits, yang diucapkan ha-DEETH, adalah catatan yang berisi ajaran dan tindakan dari Muhammad. Tulisan-tulisan ini dibuat oleh teman-taman dekatnya, pelayan-pelayannya, dan bahkan isteri-isterinya. Sebagai contoh, sebuah hadits menceritakan bagaimana Muhammad berdoa, bagaimana ia menyelesaikan perselisihan diantara dua orang Muslim atau peristiwa yang terjadi selama pertarungan. Ada hadits yang hanya berisikan sebuah kalimat panjang, tetapi ada juga yang berisi satu sampai dua halaman. Namun, rata-rata panjangnya adalah kurang lebih tiga paragraph.
Para pengikut Muhammad sangat berdedikasi untuk menjaga catatan mengenai apa yang ia katakan dan lakukan. Terdapat lebih dari setengah juta hadits! (Untuk informasi lebih lanjut, lihat Apendiks A)
Tentu saja tidak seorangpun dari antara kita yang dapat menghafal semua hadits. Tetapi sekolah kami memiliki hadits-hadits tertentu yang harus dihafal setiap semester. Pada hari pertama di kelas hadits, seorang guru akan memberikan sebuah buku dengan hadits yang harus kami hafalkan selama semester itu. Terdapat kurang lebih seratus hadits dalam setiap bukunya.
Kami menghafalkan satu sampai tiga hadits per hari selama tahun pelajaran. Paman saya ikut membantu saya dalam menghafal hadits tambahan, sementara saya menghafalkan beberapa hadits lainnya sendiri. Paman saya melatih saya untuk berkhotbah di mesjid, di mana saya telah melakukan hal itu sesekali ketika saya masih duduk di bangku SMA. Setelah tamat dari SMA, saya perkirakan saya telah menghafal antara lima sampai enam ribu hadits.
Pendidikan agama di SMA ini sangat menyeluruh. Ketika murid-murid lulus dari SMA Al Azhar pada usia delapan belas tahun, mereka telah berkualitas untuk memimpin doa dan mengajar di mesjid tanpa pendidikan lebih lanjut.
Saya adalah seorang penganut Islam yang sangat patuh pada saat itu. Kerinduan saya adalah mengikuti teladan Muhammad dalam setiap perbuatan saya.
MASUK UNIVERSITAS
Setelah lulus dari SMA, salah satu kakak lelaki saya menyarankan agar saya masuk sekolah farmasi. Tetapi anggota keluarga saya yang lainnya meminta saya untuk melanjutkan pendidikan agama saya. Jadi saya mendaftar ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan memilih untuk bersekolah di Jurusan Bahasa Arab, seperti yang paman saya lakukan.
Setiap orang Islam pasti telah mengetahui Universitas Al-Azhar karena universitas ini merupakan sekolah yang paling terkenal di negara-negara Islam. Pengaruhnya sulit untuk digambarkan kepada orang-orang Barat karena tidak ada universitas dengan status seperti ini di negara-negara Barat. Universitas ini sangat besar – hingga sanggup menampung mahasiswa berjumlah sembilan puluh ribu orang dari seluruh Mesir. Universitas ini sangat tua – Mesjid Al Azhar yang terdapat di dalam kampus ini selesai dibangun pada tahun 972 M, dan pelajaran akademis mulai diberikan tiga setengah tahun kemudian.[1] Universitas ini juga sangat dihormati – digambarkan dalam sebuah media Islam sebagai ”Kewenangan Tertinggi dalam Islam Sunni.”
Saya selalu menyukai pelajaran sejarah, jadi saya memilih jurusan Sejarah dan Budaya Islam. Saya ingin belajar lebih banyak tentang kesabaran, keberanian, dan komitmen Muhammad dan teman-temannya yang sangat saya kagumi.
Pada hari pertama di kelas, saya memperoleh pengantar pelajaran yang mengejutkan. Sheikh yang mengajar pada pelajaran pertama di hari itu bertubuh pendek, kulit gelap, sedikit berkumis dan mengenakan kacamata yang sangat tebal. Ia memberitahukan kami, “Apa yang saya sampaikan kepada kalian harus diterima sebagai sebuah kebenaran. Saya tidak akan mengijinkan diskusi dalam bentuk apapun di dalam kelas. Apa yang tidak saya katakan, tidak pantas untuk dipelajari. Dengar dan taati, dan jangan bertanya tentang apapun.”
Saya terganggu dengan filosofi seperti ini, dan saya berdiri untuk berbicara. Sheikh ini memperhatikan saya dengan segera karena saya duduk di baris kedua. Saya berkata, ”Wahai Guru Sheikh, bagaimana bisa ada pengajaran tanpa pertanyaan?”
”Dari mana asalmu, anak muda?” dia bertanya.
”Dari Mesir,” jawab saya, padahal sudah jelas saya adalah orang Mesir.
”Saya tahu – tapi Mesir bagian mana?”
Saya menyebutkan nama daerah saya, dan dia berteriak, ”Jadi jelas kamu adalah keledai dungu!” Ia berkata begitu karena orang-orang dari daerah saya memang sering dipandang rendah.
Saya lalu menjawabnya, ”Ya, saya adalah seekor keledai yang meninggalkan rumah dan datang kemari untuk dihina.”
Kelas menjadi sunyi. Saya keluar dari barisan kursi saya lalu melangkah menuju pintu untuk keluar dari kelas. Sheikh berteriak kepada saya, “Berhenti, kamu binatang! Siapa namamu?”
”Tidak ada untungnya aku beritahukan kepadamu,” jawab saya dingin.
Sampai di sini, sheikh ini menjadi sangat marah, dan mulai memanas-manasi untuk menghapus nama saya dari daftar universitas dan membuang saya ke jalan. Saya meninggalkan ruangan dan langsung pergi ke dekan fakultas saya. Saya menceritakan kepadanya apa yang terjadi. Setelah sheikh selesai dengan pelajarannya, dekan memanggilnya ke ruangan dekan.
Dekan ini sangat ahli meyakinkan sheikh tersebut untuk memaafkan saya dan ia juga meminta saya untuk lebih bersikap toleran kepadanya. “Terimalah dia seperti figur seorang ayah,” katanya, “yang ingin mengoreksi kamu dan bukannya menghinamu.”
Peristiwa ini mengajarkan kepada saya bagaimana untuk berdiam dan tunduk seperti yang diminta oleh universitas. Metode belajar kami adalah membaca buku yang ditulis oleh ahli-ahli agama Islam terbesar, baik yang modern maupun kuno. Kemudian kami akan membuat daftar poin-poin penting dari setiap buku dan menghafalkan daftar tersebut. Kami akan menjalani tes tertulis untuk setiap kelas dan beberapa guru akan meminta laporan. Saya juga membaca bacaan tambahan dan puisi berbahasa Arab untuk saya nikmati sendiri.
Walaupun saya tahu, seringkali saya mengajukan pertanyaan yang tidak disukai oleh guru-guru saya.
TERLALU BANYAK PERTANYAAN
Sebagai contoh, saya bertanya pada salah satu profesor, “Mengapa pada awalnya Muhammad mengajarkan kita untuk berteman dengan orang-orang Kristen tetapi kemudian meminta kita untuk membunuh mereka?”
Profesor itu menjawab, “Apa yang telah nabi perintahkan kepadamu untuk dilakukan, lakukanlah itu. Apa yang dilarangnya, maka itu terlarang untukmu. Apa yang ia ijinkan, maka itu diijinkan untukmu. Kamu bukanlah umat Islam yang sebenarnya jika kamu tidak tunduk kepada kata-kata Muhammad.”
Saya bertanya kepada profesor lainnya, “Mengapa Nabi Muhammad diijinkan untuk menikahi tiga belas perempuan, sedangkan kita diperintahkan untuk menikahi tidak lebih dari empat orang perempuan? Al Quran berkata, Muhammad hanyalah manusia biasa, tetapi mengapa ia mendapatkan hak istimewa?”
Profesor saya itu menjawab, “Tidak. Jika kamu perhatikan baik-baik, kamu akan melihat bahwa Allah memberikan kepadamu hak melebihi hak nabi. Allah meminta kamu untuk menikahi tidak lebih dari empat orang perempuan. Tetapi kami diberikan hak untuk menceraikan. Sehingga kamu dapat menikahi empat orang perempuan hari ini, dan menceraikan mereka keesokan harinya, dan menikahi empat orang perempuan lainnya. Dengan demikian kamu dapat memiliki isteri dalam jumlah yang tidak terbatas.”
Bagi saya, itu bukanlah jawaban yang masuk akal, terutama karena sejarah keislaman menunjukkan bahwa Muhammad juga mempunyai hak untuk menceraikan. Muhammad juga mendapatkan banyak masalah dengan isteri-isterinya hingga pada suatu hari ia mengancam hendak menceraikan mereka semua.
Saya bahkan bertanya pada Sheikh Omar Abdel, yang dikenal sebagai dalang di belakang serangan bom terhadap gedung World Trade Centers tahun 1993. Ketika saya masih kuliah di Al-Azhar, beliau adalah salah satu profesor di kelas penafsiran Al Quran.
Beliau memberikan kesempatan kepada kami untuk bertanya, karena itu saya berdiri di hadapan lima ratus siswa dan bertanya, “Mengapa setiap saat Anda mengajarkan kami semua tentang jihad? Bagaimana dengan ayat-ayat lain di dalam Al Quran yang berbicara tentang damai, kasih dan pengampunan?”
Wajahnya langsung memerah. Saya dapat melihat kemarahannya, tetapi saya juga melihat untuk memilih untuk mengendalikannya. Bukannya berteriak kepada saya, ia malah mengambil waktu untuk menegakkan posisi duduknya. “Saudaraku,” katanya, “ada surat (pasal) yang disebut ’Rampasan Perang’. Tetapi tidak ada surat yang dinamakan ’Damai’. Jihad dan membunuh adalah inti dari agama Islam. Jika kamu menghapusnya, maka kamu memotong inti dari Islam.” Jawaban yang saya dapat darinya dan profesor-profesor lainnya tidak memuaskan saya.
Beberapa orang menyebut saya sebagai si pembuat masalah, tetapi yang lainnya bersikap lebih sabar, meyakini bahwa saya benar-benar ingin belajar.
Pada saat yang sama, saya menonjol di dalam pelajaran saya. Setelah empat tahun, saya lulus dengan peringkat kedua terbaik dari enam ribu siswa. Peringkat ini didasarkan pada penilaian dari ujian lisan dan tulisan yang diberikan pada akhir tahun perkuliahan. Ujian lisan difokuskan pada hafalan Al Quran dan hadits dan ujian tertulis mencakup semua materi yang dipelajari di kelas. Setiap tahun Anda dapat mengumpulkan maksimal seribu lima ratus poin.
GELAR MASTER DAN MENGAJAR
Sebelum saya dapat mengambil gelar master saya, saya menghabiskan kewajiban satu tahun saya di angkatan bersenjata. Setelah selesai, saya kembali di Al-Azhar, saya memutuskan pada saat itu bahwa tidak ada profesor atau sheikh yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Saya harus menjawab pertanyaan saya sendiri. Melakukan penelitian untuk tesis master saya adalah kesempatan yang baik untuk hal ini.
Tidak ada seorangpun yang memberitahukan saya apa yang harus saya baca, jadi saya membaca banyak materi mengenai sejarah Islam. Tetapi, bukannya menemukan jawaban, saya malah menjadi kecewa dengan Islam. Tanpa membesarkan dengan segala cara, saya dapat katakan bahwa sejarah Islam adalah cerita tentang kekerasan dan pertumpahan darah dari zaman Muhammad sampai saat ini. Ketika saya melihat ajaran Al Quran dan Muhammad, saya dapat melihat mengapa sejarah Islam berkembang dengan cara seperti itu. Saya berpikir, Tuhan seperti apakah yang dapat mengampuni kerusakan hidup manusia seperti itu? Tetapi saya menyimpannya menjadi pertanyaan bagi diri sendiri.
Tesis master saya menimbulkan banyak keributan. Saya menjaga diri saya dari mempertanyakan Islam, tetapi saya menyentuh salah satu isu yang kontroversial, yaitu mengenai bagaimana bentuk pemerintah yang seharusnya dimiliki oleh sebuah negara Islam. Pemerintah Mesir menyukai gagasan saya dan membuatnya menjadi sebuah siaran langsung di sebuah stasiun radio Al Quran nasional untuk mempertahankan tesis saya.
Dari luar, saya tampak begitu sukses. Universitas meminta saya untuk mulai mengajar bidang yang saya kuasai – sejarah dan budaya Islam. Pada usia dua puluh delapan tahun, saya menjadi salah satu dosen termuda yang pernah ada. Saya juga memimpin doa dan ceramah di sebuah mesjid di pinggiran kota Kairo. Namun, di dalam hati saya, saya masih terus mencari kebenaran.
Sampai di sini, saya tidak lagi mengendalikan hidup saya. Saya tidak dapat berhenti dan mencari pekerjaan lain. Universitas, keluarga saya, orang-orang di lingkungan saya bertanya, Mengapa kamu lakukan ini? Tidak masuk akal untuk meninggalkan semua pendidikan ini. Saya tidak punya pilihan lain selain melanjutkan perjalanan ini. Saya pun mulai melanjutkan gelar doktor saya.
Meninggalkan Universitas
Saya menghabiskan waktu dua tahun melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktor. Selama itu, saya memiliki dua tanggung jawab utama. Saat itu saya mengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo dan universitas-universitas Islam lainnya yang ada di Timur Tengah. Tetapi, saya juga adalah pemimpin dari sebuah mesjid kecil. Saya memimpin doa pertama, keempat dan kelima setiap hari dan pada hari Jumat saya berkhotbah serta memimpin doa sepanjang hari.
Saya menghabiskan waktu dua tahun melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktor. Selama itu, saya memiliki dua tanggung jawab utama. Saat itu saya mengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo dan universitas-universitas Islam lainnya yang ada di Timur Tengah. Tetapi, saya juga adalah pemimpin dari sebuah mesjid kecil. Saya memimpin doa pertama, keempat dan kelima setiap hari dan pada hari Jumat saya berkhotbah serta memimpin doa sepanjang hari.
Saya senang sekali mengajar dan berbicara dengan para murid. Tidak lama kemudian, saya mulai mengajar dengan cara yang baru. Saya mengijinkan mahasiswa saya untuk berdebat dan bertanya. Hal ini merupakan cara yang berbahaya untuk dilakukan. Seperti misalnya, ketika saya mengajarkan tentang pemimpin-pemimpin Islam pada masa mula-mula, ada cerita tentang Muawiya [Moo-uh-Ww-yuh] dan puteranya, inti dari tesis saya. Muawiya adalah salah seorang yang menuliskan pewahyuan Al Quran untuk Muhammad, yang tidak bisa membaca atau menulis. Ia kemudian menjadi pemimpin Islam dunia setelah Muhammad. Sebelum meninggal, ia menasehatkan puteranya untuk menangkap dan membunuh empat orang yang dapat mengancam kesempatannya puteranya itu untuk menjadi pemimpin Islam berikutnya. Puteranya ini kemudian mengikuti nasehatnya; dan atas nasehat ayahnya itu pula, ia membunuh cucu Muhammad demi mengamankan posisinya. Saya memberitahukan murid-murid saya, “Mari kita melihat kepada Tuhan dalam situasi ini. Kita perlu mencari cinta dan belas kasihan Tuhan dalam situasi ini.”
Saya ingin membangun semangat baru dalam kelas ini. Saya pernah tidak dijinkan untuk bertanya ketika saya masih menjadi mahasiswa. Tetapi, saya ingin mahasiswa saya berpikir bebas dan menggunakan otak mereka tanpa merasa takut karena adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Kebanyakan mahasiswa mampu berpikir kritis. Salah seorang bertanya, “Apakah hadits ini benar-benar ada? Jangan-jangan orang Yahudi yang membuatnya.” Saya mengajaknya untuk melihat sumber cerita itu dan menjawab, “Ini kisah nyata dan bukan karangan.” Jadi mereka benar-benar merenungkan pertanyaan itu. Tetapi beberapa mahasiswa yang radikal merasa bahwa saya memojokkan Islam, “Allah mengampuni kita,” teriak mereka. “Anda adalah dosen kami. Ajarkan kami tentang Islam. Anda membingungkan kami.”
Mahasiswa-mahasiswa ini mendatangi pemimpin universitas dan berkata, “Ini adalah dosen yang berbahaya. Kami tidak tahu apakah ia masih seorang muslim atau telah berpaling.”
Al-Azhar sangat takut akan adanya kekuatan asing yang menyerangnya dari dalam. Ketua departemen saya, memanggilnya saya untuk menemuinya. Saya pikir universitas akan menghancurkan saya, tetapi saya juga berpikir, “Dosen-dosen ini mengenal saya. Mereka mengetahui hati dan keinginan saya untuk belajar. Mereka juga mengetahui tidak ada pertanyaan saya yang baru.”
Dalam pertemuan itu, ketua departemen saya memahami perkembangan pemikiran saya. Ia menjadi takut karenanya. “Anakku,” katanya, “Kita tidak bisa melihat masalah ini dengan cara seperti itu. Ada aturan-aturannya dan kita harus mematuhinya. Kita tidak boleh berpikir lebih daripada Nabi atau Tuhan. Ketika engkau bingung, katakan saja, “Allah dan Rasulnya mengetahui kebenarannya.” Serahkan ini di tangan mereka dan lanjutkan.” Tetapi ia menyadari bahwa saya perlu ditangani.
Kemudian saya dipanggil dalam pertemuan lainnya dengan komite penegakkan peraturan universitas. Pertemuan ini berjalan dengan baik pada awalnya. Mereka tidak ingin saya keluar dari universitas tetapi juga saya tidak boleh mengritik Islam.
Pada awalnya mereka menunjukkan sikap mengatur. Mereka menanyakan tentang hidup, rumah dan keluarga saya. Kemudian mereka berbicara tentang kelas dan mahasiswa saya. Akhirnya, mereka menantang saya, “Mengapa Anda menanyakan pertanyaan seperti itu?” Tidakkah Anda mengetahui bahwa Anda harus mengatasi masalah ini sama seperti yang kita semua lakukan? Anda mengetahui banyak hal, tetapi tidak peduli berapapun banyaknya yang kita pelajari, banyak hal yang masih jauh dari kebenaran. Milikilah disiplin. Katakan apa yang Anda pahami. Tetapi, ketika ada pergumulan, katakan saja, ’Allah dan nabi-Nya yang mengetahui.’”
Mereka bertanya, “Apakah Anda telah mempelajari The Sword on the Neck of The Unbeliever seperti yang kami minta kepada Anda?” Ini adalah sebuah buku yang mengajak umat Islam untuk menerima ajaran Muhammad tanpa pertanyaan.
Saya menjawab, “Saya telah membacanya berulang kali, hingga saya hampir menghafalnya, sama seperti Al Quran.”
Sampai di sini, saya punya pilihan. Saya dapat menyangkal semua kesalahan saya, setuju untuk mengajar dengan cara lama, dan saya akan baik-baik saja. Atau, saya memberitahu mereka apa yang saya pikirkan. Saya menjawab, “Begini, apa yang saya katakan kepada Anda sekarang bukan karena saya ingin menuduh Nabi atau agama Islam. Saya sangat meyakini mereka di dalam hati saya. Anda mengetahui saya. Anda mencintai saya. Tolong jangan menuduh saya. Tetapi, carilah jalan untuk menolong saya dan menjawab pertanyaan saya.”
“Kita mengatakan Al Quran turun langsung dari Allah, tetapi saya meragukannya. Saya melihat itu sebagai hasil pemikiran dari seorang manusia, bukan firman dari Tuhan yang sebenarnya.”
Suasana dalam pertemuan seketika itu juga berubah. Seorang laki-laki menjadi marah. Ia bangkit dari tempat duduknya, berdiri di depan saya dan meludahi wajah saya. “Kamu seorang penghujat,” gertaknya. “Aku bersumpah, ibumu pasti seorang bajingan.” Saya dapat mengetahui dari wajahnya bahwa jika dalam pertemuan ini tidak ada orang lain, ia pasti sudah akan membunuh saya seketika itu juga. “Keluar,” teriaknya.
Saya berdiri hendak meninggalkan ruangan. Pada saat itu seluruh tubuh saya bergetar dan keluar keringat. Saya sadar bahwa kata-kata yang baru saja saya ucapkan merupakan jaminan kematian. Saya berpikir, “Apakah mereka akan membunuh saya? Bagaimana? Kapan? Siapa? Apakah keluarga yang saya akan melakukannya? Atau orang-orang di mesjid tempat saya mengajar? Atau murid-murid saya?
Kejadian itu adalah saat-saat terburuk dalam hidup saya.
Saya meninggalkan pertemuan itu dan pulang ke rumah. Saya tidak mengatakan apapun kepada keluarga tentang yang baru saja terjadi, tetapi kemudian saya mengerti bahwa saya kecewa terhadap sesuatu. Saya tidur lebih cepat malam itu.
PERJALANAN MENUJU PENJARA
Pada pagi-pagi benar, sekitar jam 3 pagi, pada malam yang sama, ayah saya mendengar suara ketukan di depan pintu rumah. Ketika ia membuka pintu, lima belas sampai dua puluh orang pria dengan cepat melewatinya sambil membawa senjata buatan Rusia, Kalashnikov. Mereka naik ke atas dan ke seluruh bagian rumah, membangunkan setiap orang yang mencari saya.
Satu diantara mereka menemukan saya tidur di tempat tidur saya. Seluruh keluarga terbangun, menangis dan ketakutan, ketika seorang pria menarik saya keluar dari pintu depan. Mereka mendorong saya ke bagian belakang mobil dan pergi. Saya terkejut, tetapi saya tahu, inilah hasil dari apa yang telah terjadi di universitas sehari sebelumnya. Saya ditaruh di tempat yang mirip dengan penjara dimana saya ditempatkan di dalam sel dengan tahanan lainnya.
Keesokan paginya, orangtua saya dengan gelisah mencoba mencari tahu apa yang telah terjadi kepada saya. Segera saja mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya, “Di mana anak kami?” Tetapi tidak seorangpun mengetahui tentang saya.
Saya berada di tangan polisi rahasia Mesir.
DITUDUH MENJADI SEORANG KRISTEN
Selama tiga hari, para penjaga tidak memberi saya makan ataupun minum.
Pada hari keempat, interogasi dimulai. Selama empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia ini adalah untuk membuat saya mengaku bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. Cara mereka adalah dengan meninggalkan saya sendirian sepanjang hari dan mengeluarkan saya dari sel pada malam hari untuk diiterogasi.
Pada malam pertama, pertanyaan dimulai di dalam sebuah ruangan dengan meja besar. Orang yang menanyakan saya duduk di belakang meja dengan sebatang rokok di tangannya, dan saya duduk di sisi lainnya. Ia yakin bahwa saya telah murtad dan menjadi seorang Kristen. Orang itu terus bertanya kepada saya, “Pendeta mana yang telah berbicara denganmu? Gereja mana yang telah kamu kunjungi? Mengapa kamu menghianati Islam?”
Ia melakukan lebih dari sekedar bicara. Saya memiliki bekas luka bakar pada tangan, lengan dan muka saya akibat sundutan rokok dan alat pemanas dari besi untuk menunjukkan kesungguhannya.
Ia ingin saya mengaku bahwa saya telah murtad, tetapi saya menjawab, “Saya tidak mengkhianati Islam. Saya hanya mengatakan apa yang saya percayai. Saya adalah seorang akademisi. Saya seorang pemikir. Saya punya hak untuk membahas topik apapun di dalam agama Islam. Ini adalah bagian dari pekerjaan dan kehidupan akademik saya. Saya bahkan tidak pernah bermimpi untuk murtad dari Islam – Islam adalah darah saya, budaya, bahasa, keluarga dan hidup saya. Tetapi jika Anda menuduh saya telah murtad dari Islam karena apa yang saya katakan kepadamu, maka keluarkanlah saya dari Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari Islam.”
Para penjaga menarik saya dan mengembalikan saya ke sel sepanjang hari itu itu. Teman satu sel saya yang berpikir saya dihukum karena saya adalah seorang pengkaji agama Islam, memberikan saya makanan dan minumannya.
Keesokan malamnya, saya dibawa ke dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur besi di dalamnya. Para penjaga selalu mengucapkan sumpah serapah atas saya dan menghina saya, mencoba untuk mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di tempat tidur dan mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.
Ketika saya bangun, mereka membawa sebuah tangki kecil berisi air dingin. Mereka memaksa saya untuk bangun, dan itu tidak lama sebelum akhirnya saya pingsan kembali. Ketika bangun, saya tergeletak di atas tempat tidur di mana mereka mencambuki saya, masih dengan pakaian yang basah.
Saya menghabiskan satu hari lagi di dalam sel. Malam berikutnya saya dibawa keluar, ke bagian belakang bangunan itu. Saya melihat ada sebuah ruangan kecil, tanpa jendela ataupun pintu. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah melalui jendela di bagian atasnya. Para penjaga itu kemudian memaksa saya untuk menaiki tangga menuju ke atas dan berkata, “Masuk.”
Saya meluncur ke bawah dari pintu masuk itu dan merasakan air di seluruh tubuh saya, tetapi kemudian saya merasakan kaki saya berpijak di atas tanah. Air menutupi tubuh saya sampai sebatas bahu. Kemudian saya melihat sesuatu berenang di atas air – tikus. “Orang ini adalah seorang pemikir dalam agama Islam,” kata mereka, “jadi kita biarkan saja tikus memakan kepalanya.”
Mereka menutup pintu atas, dan saya tidak dapat melihat apapun. Saya berdiri di air dan menunggu di dalam kegelapan. Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam. Keesokan paginya para penjaga datang kembali untuk melihat apakah saya masih hidup. Saya tidak akan pernah melupakan sinar matahari yang terlihat ketika pintu atas ruangan itu dibuka. Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus menaiki kepala dan bahu saya, tetapi tidak satu ekorpun yang mengigit saya. Para penjaga kemudian membawa saya kembali ke dalam sel dengan heran.
Malam harinya, para penjaga membawa saya ke depan sebuah ruangan kecil dan berkata, “Ada seseorang yang sangat mencintaimu dan ingin bertemu denganmu.”
Saya berharap itu adalah salah satu anggota keluarga atau teman saya yang mengunjungi atau membawa saya keluar dari penjara itu.
Mereka membuka pintu ruangan, dan di dalamnya saya melihat seekor anjing
besar. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu. Mereka mendorong saya masuk ke dalam dan menutup pintu.
Di dalam hati saya berteriak kepada Sang Pencipta, “Engkaulah Tuhanku. Engkau yang menjagaku. Bagaimana Engkau dapat meninggalkanku di tangan orang-orang jahat ini? Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang ini terhadapku, tetapi saya tahu bahwa Engkau bersamaku, dan satu hari nanti saya akan melihat-Mu dan bertemu dengan-Mu.”
Saya berjalan ke tengah ruangan yang kosong itu dan duduk dengan kaki bersila di atas lantai. Anjing itu lalu menghampiri saya dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu sementara anjing itu memandangi saya.
Anjing itu kemudian berdiri dan mulai berjalan mengelilingi saya, seperti seekor binatang yang hendak memakan sesuatu. Ia lalu berjalan ke sisi kanan saya, menjilati telinga saya, dan duduk. Saya sangat lelah. Tidak lama setelah ia duduk di sebelah kanan saya, saya pun tertidur.
Ketika saya bangun, anjing itu duduk di sudut ruangan. Lalu berlari ke arah saya dan duduk kembali di sebelah kanan saya. Ketika para penjaga membuka pintu, mereka melihat saya sedang berdoa, dengan anjing duduk di sebelah saya. Mereka mulai benar-benar bingung karena saya.
Itu adalah hari terakhir saya diinterogasi. Saya kemudian dipindahkan ke penjara permanen. Sampai di sini, di dalam hati saya, saya benar-benar menolak Islam.
Selama saat-saat itu berlangsung, keluarga saya terus mencoba mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka tidak berhasil sampai kakak lelaki ibu saya, salah seorang petinggi di Parlemen Mesir, kembali ke Mesir setelah berjalan-jalan dari luar negeri. Ibu saya memanggilnya dan sambil menangis tersedu-sedu ia berkata, “Selama dua minggu kami tidak tahu dimana putera kami berada. Ia hilang.” Paman saya memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari setelah saya diculik, ia datang ke penjara itu seorang diri dengan surat jaminan pembebasan dan membawa saya pulang ke rumah.
PERUBAHAN DIAM-DIAM
Beberapa orang mungkin berkata, “Tidak heran jika orang ini meninggalkan Islam. Ia kecewa karena ia dianiaya oleh orang-orang Islam.” Ya memang itu benar. Ketika saya dianiaya atas nama membela agama Islam, saya tidak membuat perbedaan antara orang Islam dengan ajaran Islam. Jadi penganiayaan merupakan dorongan terakhir yang memisahkan saya dari Islam.
Namun sesunguhnya saya telah mempertanyakan Islam beberapa tahun sebelum saya dipenjarakan. Pertanyaan saya itu bukan didasarkan pada tindakan umat Islam melainkan tindakan Muhammad dan para pengikutnya juga terhadap ajaran Al Quran. Dimasukkan dalam penjara hanya mempercepat langkah kemana saya akan pergi.
Saya kembali ke rumah orang tua saya untuk mencari tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Kemudian seorang polisi memberikan laporan kepada ayah saya:
“Kami telah menerima fax dari Universitas Al-Azhar yang menuduh anak Anda meninggalkan agama Islam, tetapi setelah inerogasi selama lima belas hari kami tidak menemukan bukti-bukti yang mendukung pertanyaan itu.”
Ayah saya lega mendengar hal itu. Ia tidak pernah bermimpi bahwa saya akan meninggalkan Islam, meskipun saya tidak memberitahukan kepadanya perasaan saya yang sebenarnya. Ia menganggap semua peristiwa ini adalah akibat perbuatan buruk orang-orang di universitas tempat saya mengajar. Saya mendukungnya untuk mempercayai hal itu.
“Kita tidak membutuhkan mereka,” katanya, dan segera setelah itu, ia meminta saya untuk memulai pekerjaan sebagai seorang Direktur Pemasaran di pabriknya. Namun, ia tidak memahami kekacauan yang terjadi di dalam diri saya.
Hari Di mana Saya Melihat Yesus dan Muhammad Berdampingan
Saat itu adalah saat untuk sholat subuh (sekitar jam 3.30 pagi) dan saya mendengar suara seluruh penghuni rumah bangun. Saya sudah bangun, tetapi saya tidak ingin meninggalkan ruangan saya.
Kejadian itu terjadi beberapa bulan setelah saya dibebaskan dari penjara dan saya tidak pernah lagi bersembahyang di mesjid. Saya tidak lagi pergi ke mesjid lima kali sehari dan sebagai gantinya saya duduk di tempat tidur atau meja saya, berdoa kepada Tuhan yang sesungguhnya agar Ia menampakkan diri kepada saya, Tuhan manapun yang membuat saya tetap hidup selama di dalam penjara. Terkadang saya tidak mampu berkata-kata di dalam doa saya itu. Saya hanya duduk dan menangis. Ingatan tentang keadaan selama saya di penjara itu selalu mendatangi saya.
Ibu saya mengetuk pintu kamar saya dengan lembut, “Apakah kamu akan ke mesjid hari ini,” ia bertanya.
“Tidak,” jawab saya, “Saya tidak ingin bertemu dengan orang lain.”
Dalam budaya Islam, jika Anda berdoa seorang diri di dalam kamar, iman Anda tidak akan dipertanyakan selama Anda masih berdoa kepada Allah, dan itu artinya Anda masih seorang Muslim. Keluarga saya berpikir, bahwa saya hanya membutuhkan waktu untuk pemulihan. Mereka berpikir bahwa saya hanya tidak ingin berada di antara orang banyak.
PERGUMULAN DI DALAM HATI SAYA
Saya keluar dari penjara dengan rasa marah terhadap agama Islam tetapi tetap meyakini bahwa ada kuasa yang luar biasa yang telah menjaga saya hingga tetap hidup. Setiap hari, keingintahuan saya akan “Tuhan” itu menjadi semakin besar. Setiap saat saya bertanya dalam hati, “Tuhan seperti apakah Dia?” Saya tidak pernah berpikir tentang Tuhannya orang Yahudi atau orang Kristen. Mengapa? Karena saya masih dipengaruhi oleh Al Quran dan ajaran-ajaran Muhammad. Al Quran mengatakan orang Kristen menyembah tiga Tuhan – Tuhan Bapa, Yesus Kristus sang Anak dan Maria, ibu Yesus. Saya sedang mencari Tuhan yang hanya ada satu, bukan tiga. Selain itu Al Quran katakan bahwa orang Yahudi adalah orang-orang yang jahat yang telah menyelewengkan Kitab Suci mereka. Jadi saat itu saya tidak akan memandang kepada Tuhan mereka.
Hal ini mendorong saya untuk melihat pada agama-agama di Timur Jauh – Hindu dan Budha. Saya telah mendengar tentang agama-agama ini ketika saya sedang menempuh kuliah S 1, dan saat itu saya telah menemukan banyak buku untuk mempelajari tentang agama-agama tersebut. “Apakah Tuhannya orang Hindu?” saya bertanya-tanya. “Atau apakah Tuhannya orang Budha?” Tetapi, setelah mempelajari semuanya itu, kesimpulan saya adalah “Tidak”.
Ketika saya hendak merenung, saya duduk di tepi sungai dan melihat airnya. Air, tanaman hijau, langit, alam – semua ini memberi saya harapan bahwa ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya.
Setiap hari setelah saya bekerja dengan ayah saya, saya kembali ke rumah dan menyantap makan malam bersama ibu dan dua saudara laki-laki saya yang belum menikah. Biasanya, setelah makan malam di malam Kamis, saya menceritakan sebuah cerita dari hadits yang sangat disukai oleh adik laki-laki saya. Tetapi, saya berhenti melakukan hal itu setelah keluar dari penjara. Sehingga adik saya selalu bertanya, “Mengapa kamu tidak mau lagi bercerita kepada kami?”
Setelah menyelesaikan makan malam, saya pergi keluar bersama beberapa orang teman. Kadang-kadang saya duduk di warung kopi, bermain kartu atau bermain catur. Kadang-kadang menonton acara olahraga di TV atau kami berjalan-jalan di tepi sungai nil.
Saya kembali ke rumah sekitar pukul 11 malam atau tengah malam dengan kelelahan. Ketika saya seorang diri lagi, saya merasa seperti orang yang tidak punya harapan di dunia ini karena saya belum bisa menemukan siapa itu Tuhan yang sesungguhnya. Saya menghabiskan waktu satu sampai dua jam setiap malam, mencoba untuk tertidur. Kemudian saya bangun pagi seperti biasa. Akibatnya tubuh saya menjadi lelah dan saya mulai mengalami sakit kepala akut.
Saya pergi ke dokter untuk melakukan scan terhadap otak saya. Meski demikian, sakit kepala itu tidak membuat saya berhenti bekerja dan meneruskan gaya hidup saya. Jika sedang sibuk, saya bisa melupakannya. Tetapi jika saya seorang diri di malam hari dan mencoba untuk tidur, maka sakit kepala itu menyerang sangat hebat. Dokter kemudian memberikan obat penghilang sakit yang diminum setiap malam.
RESEP BARU
Saya menjalani hidup seperti ini selama kurang lebih satu tahun. Suatu hari, sakit kepala itu menyerang begitu hebat, sehingga saya pergi ke apotek untuk membeli pil lagi. Seperti umumnya para apoteker di Mesir, apoteker (perempuan) yang saya datangi adalah orang Kristen. Saya telah bertemu dengannya cukup lama sehingga saya merasa nyaman untuk berbicara dengannya. Saya mulai mengeluh, “Pil-pil ini tidak lagi membantu saya seperti sebelumnya.”
Ia menjawab, “Kamu sepertinya sudah pada tahap berbahaya. Kamu mulai menjadi terbiasa dengan tablet-tablet itu. Kamu meminumnya bukan untuk menghilangkan rasa sakit tetapi karena kamu tidak bisa menghentikannya sekarang.” Lalu ia berkata dengan lembut, “Apa yang terjadi dalam hidupmu?” Ia tahu bahwa keluarga saya adalah keluarga terpandang dan bahwa saya lulus dari Al-Azhar. Saya memberitahukannya bahwa saya sedang mencari Tuhan. Ia terkejut. “Ada apa dengan tuhanmu dan agamamu?” katanya. Jadi saya menceritakan kisah saya kepadanya.
Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku dari bawah mejanya dan berkata perlahan-lahan, “Saya akan memberimu buku ini. Sebelum kamu meminum pilmu malam ini, cobalah untuk membaca sesuatu dari buku itu. Kemudian lihat apa yang kamu rasakan.”
Saya membawa pil-pil ini di tangan yang satu sementara tangan yang lainnya memegang buku itu. Buku itu berwarna hitam dengan tulisan “Kitab Suci” dalam bahasa Arab di bagian depannya. “Baiklah” kata saya. “Saya akan mencobanya.” Kemudian saya keluar dari apotek dan memegang buku itu sedemikian rupa sehingga bagian depannya menghadap ke tubuh saya dan judulnya tidak bisa dibaca. Lalu saya pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Ini adalah saat pertama dalam hidup saya membawa sebuah Alkitab. Saya berusia tiga puluh lima tahun pada saat itu.
MEMBACA ALKITAB
Saat itu adalah malam di musim panas, sekitar pukul 10.00. Sakit kepala saya begitu hebat, tetapi saya tidak meminum obat saya. Saya hanya menaruhnya di atas meja, dan melihat pada Alkitab itu. Saya tidak tahu harus membaca dari mana, jadi saya menjatuhkannya dan terbuka begitu saja. Alkitab itu ternyata adalah salinan dari Alkitab pribadi sang apoteker, dan saya memperhatikan catatannya pada halaman itu. Buku itu jatuh dan terbuka di Matius 5.
Saya mulai membaca tentang khotbah Yesus di atas gunung. Kemudian saya melihat sebuah gambaran – Yesus di atas gunung sedang mengajar kerumunan orang di sekitarnya. Sementara saya membaca, saya lupa kalau saya sedang di rumah. Saya tidak merasakan apa-apa di sekitar saya. Kitab Matius itu membawa saya dari satu cerita kepada cerita yang lain.
Otak saya mulai bekerja seperti komputer. Di dalam buku itu saya melihat gambar tentang Yesus. Di dalam otak saya, saya melihat gambar tentang Muhammad. Otak saya tidak berhenti untuk membuat perbandingan-perbandingan. Saya dipenuhi dengan Al Quran dan kisah hidup Muhammad sehingga tidak diperlukan upaya keras untuk mengingat semua hal itu. Gambaran-gambaran itu sepertinya ada di sana begitu saja.
Saya terus membaca Alkitab tanpa menyadari waktu, sampai akhirnya saya mendengar panggilan sembahyang pagi dari mesjid.
MEMBACA BERSAMA SAYA
Para pembaca yang terkasih, sekarang kita sampai sampai pada saat di dalam hidup saya, di mana saya ingin Anda mengetahuinya. Jika Anda ingin tahu apa yang terjadi pada saya setelah malam itu, Anda dapat membacanya pada akhir buku ini. Tetapi saya ingin berhenti sejenak di sini dan mengulang kembali situasinya bersama Anda.
Dulu saya adalah seorang sarjana yang menghabiskan waktu selama tiga puluh tahun untuk mempelajari agama Islam dan kehidupan Muhammad. Saya tidak hanya mempraktekkan ajaran Islam tetapi juga mengingatnya. Sekarang, di hadapan saya ada sebuah Alkitab yang memperkenalkan saya kepada Yesus.
Di halaman-halaman berikutnya, saya ingin Anda mengalami apa yang saya lihat pada malam itu di kamar saya di Mesir, dan apa yang telah saya temukan selama lebih dari sebelas tahun kemudian. Tidak ada pelajaran teologia di dalamnya, tidak ada komentar, dan tidak ada kata-kata khayalan. Saya tidak mempunyai seorangpun di samping saya untuk mengatakan, “Inilah yang dimaksudkan oleh Alkitab.” Saya hanya membacanya seperti apa yang disampaikan kepada saya. Saya tidak membutuhkan seseorang untuk memberitahukan, “Inilah yang Muhammad katakan atau lakukan.” Saya telah mengingatnya dari sumbernya langsung.
Ijinkanlah saya memperkenalkan kepada Anda, Yesus dan Muhammad.
[1] Islam for Today s.v. Universitas Al-Azhar, Kairo, “Historical Background,” http://www.islamfortoday.com/alazhar.htm, (diakses pada tanggal 17 Desember 2003)
Wow, thanks ya untuk artikel ini.
BalasHapusSudah lama saya mencari buku Jesus versus Muhammad karangan Mark Gabriel.
Salut atas usaha anda merilisnya melalui blog.
Mohon bagian berikutnya segera dirilis ya.
Thanks again.
Aep